Kerajaan Medang Jawa kuno translit kaḍatwan mḍaŋ atau sering disebut juga Mataram Kuno adalah kerajaan agraris sekaligus
Medang

Kerajaan Medang (Jawa kuno: 𑼒𑼞𑼡𑽂𑼮𑼥𑽁 𑼪𑽂𑼣𑼁, translit. kaḍatwan mḍaŋ) atau sering disebut juga Mataram Kuno adalah kerajaan agraris sekaligus talasokrasi yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10 Masehi, yang didirikan oleh Sanjaya. Kerajaan ini dipimpin oleh wangsa Syailendra dan wangsa Isyana.
Kadatuan Medang 𑼒𑼞𑼡𑽂𑼮𑼥𑽁 𑼪𑽂𑼣𑼁 | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
732–1016 | |||||||||
![]() Wilayah kerajaan Medang periode Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta lingkup pengaruh (mandala) pada Madura dan Bali. | |||||||||
Ibu kota | Mataram (masa Sanjaya) Mamratipura (masa Rakai Pikatan) Poh Pitu (masa Dyah Balitung) Tamwlang (masa Mpu Sindok) Watugaluh (masa Mpu Sindok) Wwatan (masa Dharmawangsa) | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa Kuno atau Kawi (utama), Sanskerta, Melayu kuno (alternatif) | ||||||||
Agama | Hindu dan Buddha | ||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||
Ratu / Sri / Maharaja | |||||||||
• 732 | Sanjaya | ||||||||
• 746 | Rakai Panangkaran | ||||||||
• 784 | Rakai Panunggalan | ||||||||
• 803 | Rakai Warak | ||||||||
• 829 | Rakai Garung | ||||||||
• 847 | Rakai Pikatan | ||||||||
• 855 | Rakai Kayuwangi | ||||||||
• 929 | Mpu Sindok | ||||||||
• 949 | Sri Isyana Tunggawijaya | ||||||||
• 955 | Makutawangsawardhana | ||||||||
• 990 | Dharmawangsa Teguh | ||||||||
Era Sejarah | Masa kerajaan klasik awal-klasik tua | ||||||||
• Prasasti Canggal; Sanjaya, mendirikan Kerajaan Medang (Periode Jawa Tengah) | 732 | ||||||||
• Prasasti Turryan; Mpu Sindok, memindahkan pusat Kerajaan Medang ke Timur (Periode Jawa Timur) | 929 | ||||||||
• Prasasti Pucangan; Keruntuhan Kerajaan Medang | 1016 | ||||||||
| |||||||||
![]() ![]() |
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
![]() |
Garis waktu |
![]() |
Sepanjang sejarahnya, penduduk kerajaan ini sangat mengandalkan sektor pertanian, terutama budidaya padi lahan basah (sawah). Akan tetapi, kemudian kerajaan ini juga mengembangkan sektor niaga maritim. Menurut sumber-sumber asing dan temuan arkeologis, kerajaan ini tampaknya berpenduduk cukup banyak dan memiliki ekonomi yang makmur. Kerajaan ini mengembangkan struktur masyarakat yang kompleks, memiliki budaya yang berkembang dengan baik, serta mencapai kemajuan teknologi dan tingkat peradaban yang luhur dan halus.
Pada periode antara akhir abad ke-8 dan pertengahan abad ke-9, kerajaan ini mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan mekar berseminya seni dan arsitektur Jawa klasik. Hal ini tercermin dari pesatnya pertumbuhan budaya dan maraknya pembangunan aneka candi, yang menghiasi bentang kerajaan di tanah Mataram. Candi yang terkenal dibangun pada masa kerajaan Medang adalah Kalasan, Sewu, Borobudur dan Prambanan. Kerajaan Mataram dikenal sebagai negeri pembangun candi.
Kemudian wangsa yang memerintah kerajaan Medang terbagi menjadi dua kubu yang diidentifikasi sebagai Syailendra pemuja Siwa dan Syailendra penganut Buddha Mahayana. Indikasi perang saudara terjadi, hasilnya adalah wangsa Syailendra dibagi menjadi dua kerajaan yang kuat, wangsa Syailendra (pemuja Siwa) berkuasa di Jawa dipimpin oleh Rakai Pikatan dan wangsa Syailendra (penganut Buddha) berkuasa di Sumatera dipimpin oleh Balaputradewa. Perselisihan di antara mereka berakhir sampai 938 Saka, atau sekitar 1016 Masehi, ketika raja wangsa Syailendra yang berkedudukan di Sumatera menghasut Haji Wurawari, seorang raja bawahan, untuk memberontak kepada kekuasaan Dharmawangsa Teguh. Dengan dukungan Sriwijaya, Raja Wurawari dari arah Lwaram menyerbu ibu kota Wwatan di Jawa Timur. Serangan tersebut dilancarkan secara mendadak dan tak terduga. Akibatnya, kerajaan runtuh, luluh lantak tanpa menyisakan apapun, kecuali sedikit saja penyintas yang berhasil menyelamatkan diri.
Seorang penyintas, bangsawan Jawa-Bali keturunan wangsa Isyana tetap bertahan, dan akhirnya berhasil merebut kembali kekuasaan di Jawa Timur. Selanjutnya, pada tahun 1019 dia mendirikan Kerajaan Kahuripan, sebagai kelanjutan dari kerajaan Medang Mataram. Tokoh ini adalah Airlangga, putra Udayana raja kedelapan dari kerajaan Bedahulu di Bali. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri dari raja Medang Makutawangsawardhana. Peristiwa tersebut disebutkan dalam prasasti Pucangan yang dikeluarkan oleh Airlangga pada 1041. Selanjutnya kerajaan Airlangga tersebut terbagi menjadi dua, kerajaan Panjalu dan kerajaan Janggala.
Etimologi

Awalnya, kerajaan atau kedatuan ini diidentifikasi melalui lokasinya di Yawadwipa (Pulau Jawa) sebagaimana disebutkan dalam prasasti Canggal (732 M). Prasasti itu mendokumentasikan dekrit Sanjaya, di mana ia menyatakan dirinya sebagai penguasa universal Mataram. Para sejarawan sebelumnya seperti Soekmono, mengidentifikasi nama kedatuan ini sebagai Mataram, nama geografis bersejarah untuk menyebut kawasan dataran Kewu, yang kini berada dalam wilayah administratif provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini didasarkan pada lokasi di mana sebagian besar peninggalan candi ditemukan. Etimologi nama "Matarām" berasal dari istilah bahasa Sanskerta yang memiliki arti "ibu".
Nama Medang muncul kemudian dalam prasasti Anjuk Ladang, prasasti Sangguran, prasasti Paradah dan beberapa prasasti yang ditemukan di Jawa Timur. Sebagai akibatnya, para sejarawan cenderung mengidentifikasi periode Jawa Timur (929–1016 M) dari kedatuan ini sebagai Medang untuk membedakannya dengan periode Jawa Tengah (732–929 M).
Meninjau dari beberapa prasasti periode Jawa Timur dijumpai frasa yang tertera di dalam beberapa prasasti, antara lain dalam prasasti Anjuk Ladang, prasasti Paradah yang menyebutkan:
... kita prasiddha maŋrakṣa kaḍatwan rahyaŋta i mḍaŋ i bhūmi matarām ...
Terjemahan inskripsi: "... [wahai sekalian] engkau (yang mulia), yang melindungi kedaton leluhurmu di Medang, di bumi Mataram ..."
Frasa ini mengungkapkan nama kerajaan. Ini menunjukkan bahwa nama "Medang" sudah digunakan pada periode Jawa Tengah sebelumnya. Ungkapan mḍaŋ i bhūmi matarām berarti "Medang di tanah Mataram", yang berarti Medang adalah nama kedatuan dengan pusatnya di tanah Mataram. Makna kita prasiddha di sini plural, sehingga rahyaŋta boleh jadi merujuk kepada para leluhur yang meninggal di Mataram.
Namun, dengan memeriksa frasa dalam prasasti Mantyasih lempeng 1b: baris 7–8 yang menyebutkan:
... rahyaŋta rumuhun. ri mḍaŋ. ri poh pitu. rakai matarām. saŋ ratu sañjaya ...
Terjemahan inskripsi: "... leluhurmu dahulu, di medang, di poh pitu, penguasa mataram, sang ratu sanjaya ..."
Frasa ini mengungkapkan bahwa Sanjaya sebagai Rakai (penguasa) di tanah Mataram. Ini menunjukkan bahwa nama "Medang" sudah digunakan pada periode Jawa Tengah. Ungkapan rahyaŋta rumuhun. ri mḍaŋ. ri poh pitu berarti "leluhur dahulu ada di Medang, di Poh Pitu", yang berarti Mataram adalah sebagai nama wilayah administratif setingkat provinsi atau daerah khusus bagi kerajaan Medang. Asal usul nama mdaŋ mungkin berasal dari nama lokal pohon "Medang", tumbuhan berbunga yang merujuk pada genus Phoebe.
Sanjaya mulanya mendirikan kadaton Medang di Bhumi Mataram kemudian dipindah istananya oleh Rakai Pikatan ke Mamrati. Kemudian pada era Dyah Balitung (Rakai Watukura) istana Medang dipindahkan ke Poh Pitu. Kembali lagi ke Bhumi Mataram pada era Dyah Wawa (Rakai Sumba). Kemudian Mpu Sindok yang mendirikan wangsa Isyana memindahkan pusat kedatuan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, tanpa memutus hubungan dengan leluhur terdahulu ia menyebut leluhurnya dengan kalimat rahyaŋta i mḍaŋ i bhūmi matarām pada prasasti Anjuk Ladang dan prasasti Paradah. Letusan Gunung Merapi yang parah mungkin telah menyebabkan pemindahan pusat kedatuan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sejarawan menyatakan bahwa, beberapa waktu pada masa pemerintahan Dyah Wawa dari Bhumi Mataram (924–929), Gunung Merapi meletus dan menghancurkan ibu kota Medang di Mataram. Letusan Gunung Merapi ini dikenal dengan sebutan "Pralaya Mataram" (bencana Mataram). Di Jawa Timur ibu kota baru Medang berada di Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh, dan terakhir ke Wwatan pada masa Dharmawangsa Teguh.
Penyebutan bersejarah nama kerajaan Mataram tidak dapat disamakan dengan kota Mataram yang terletak di Pulau Lombok, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat. Dahulu di Kota Mataram pernah berdiri sebuah kerajaan bernama puri Cakranegara yang didirikan oleh bangsawan dari Kerajaan Karangasem di Bali pada awal abad ke-19. Sesungguhnya, nama Kota Mataram memang diambil berdasarkan nama kerajaan historis Mataram yamg ada di Jawa. Ini dalah praktik yang lazim bagi orang Bali untuk memberi nama pemukiman mereka yang sama dengan nama tempat di Jawa, sesuai dengan warisan budaya Majapahit mereka.
Sejarah
Berdirinya Medang

Catatan awal Kerajaan Medang ada dalam prasasti Canggal (732), ditemukan di dalam kompleks Candi Gunung Wukir di dusun Canggal, barat daya Kabupaten Magelang. Prasasti ini, ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan aksara Pallawa, menceritakan tentang pendirian Siwalingga (lambang Siwa) di bukit di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja), yang terletak di pulau bernama Yawadwipa (Jawa) yang diberkahi dengan banyak beras dan emas. Pembentukan lingga berada di bawah perintah Sanjaya. Prasasti ini menceritakan bahwa di Yawadwipa dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Setelah mangkatnya Sanna negara berkabung, jatuh dalam perpecahan. Pengganti raja Sanna yaitu putra saudara perempuannya Sannaha bernama Sanjaya. Dia menaklukkan daerah-daerah di sekitar kerajaannya, dan pemerintahannya yang bijak memberkati tanahnya dengan kedamaian dan kemakmuran bagi semua rakyatnya.
Pada prasasti Taji, Prasasti Tulang Er dan prasasti Timbangan Wungkal ditemukan istilah Sanjayawarsa (Kalender Sanjaya), disebutkan dalam prasasti tersebut bahwa tahun 1 Sanjaya sama dengan tahun 716 Masehi. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun 716 M ini merupakan tahun kelahiran Sanjaya, atau tahun berdirinya kedatuan. Menurut prasasti Canggal, Sanjaya mendirikan kedatuan baru di tengah Pulau Jawa bagian selatan. Namun tampaknya itu merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya yang diperintah oleh Sanna.
Kejayaan Medang

Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung (rentang antara 760–910) yang berlangsung selama 150 tahun, ditandai sebagai era puncak kejayaan peradaban Jawa kuno. Pada periode ini seni, budaya, dan arsitektur Jawa kuno tumbuh mekar bersemi. Ditandai dengan pembangunan sejumlah candi dan monumen nan megah, marak membentang menghiasi cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu. Candi yang paling terkenal adalah candi Sewu, Borobudur dan Prambanan. Wangsa Syailendra dikenal sebagai pembangun candi yang hebat.
Negeri pembangun candi
Dari abad ke-7 hingga pertengahan ke-10, Kerajaan Medang terdapat berkembangnya peradaban yang megah, terutama seni arsitektur Jawa Kuno berupa bangunan-bangunan suci Hindu-Buddha yang membentang cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu.
Candi paling awal dibangun era Medang adalah candi Gunung Wukir, berdasarkan prasasti Canggal, candi ini didirikan pada saat pemerintahan raja Sanjaya, pada tahun 732 M (654 Saka). Prasasti Canggal memiliki banyak informasi terkait dengan awal berdirinya Medang. Berdasarkan prasasti tersebut, candi Gunung Wukir mungkin memiliki nama asli Kunjarakunja. Hampir lima puluh tahun kemudian candi Buddha tertua dibangun di wilayah dataran Kewu, candi Kalasan, terkait dengan prasasti Kalasan (778 M) dan Rakai Panangkaran. Sejak saat itu, kerajaan Medang kedapatan proyek pembangunan candi yang tersebar di dataran Kewu dan dataran Kedu, seperti candi Sari, candi Sewu, candi Lumbung, candi Ngawen, candi Mendut, candi Pawon, dan puncaknya pada era raja Samaratungga yang memprakarsai pembangunan candi Borobudur, candi monumental besar, berbentuk seperti gunung yang diselingi dengan stupa dan selesai dibangun pada 825 M.
Arsitektur monumental lainnya yaitu candi Prambanan, awalnya dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan (838–850), dan diperluas pembangunannya masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (850–890) ke Dyah Balitung (899–911), bangunan candi tersebut juga disebutkan dalam prasasti Siwagrha. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu yang didedikasikan untuk Trimurti, tiga dewa tertinggi (Siwa, Brahma, Wisnu). Itu adalah candi Hindu terbesar yang pernah dibangun di Indonesia, bukti kemegahan arsitektur dan pencapaian budaya Medang.
Candi Hindu lainnya yang berasal dari Medang adalah: candi Sambisari, candi Gebang, candi Barong, candi Ijo, dan candi Morangan. Meskipun Siwais, umat Buddha tetap berada di bawah perlindungan kerajaan. Candi Sewu yang didedikasikan untuk Manjusri (Buddha) menurut prasasti Kelurak mungkin awalnya dibangun oleh Rakai Panangkaran, tetapi kemudian pembangunannya diperluas dan selesai pada masa pemerintahan Rakai Pikatan (seorang raja beragama Hindu-Siwa), yang menikah dengan Pramodhawardhani seorang putri raja Samaratungga beragama Buddha. Sebagian besar rakyatnya mempertahankan agama lama mereka; Hindu dan Buddha, hidup berdampingan secara harmonis. Candi Buddha seperti candi Plaosan, candi Banyunibo dan candi Sojiwan juga dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani.
Penakluk agung


Ada beberapa laporan bahwa ada serangan angkatan laut Jawa yang menyerbu Tran-nam pada tahun 767, Champa pada tahun 774, dan Champa lagi pada tahun 787. Penerus Panangkaran adalah Dharanindra (memerintah 780–800) atau biasa disebut Raja Indra. Ia disebutkan dalam prasasti Kelurak (tanggal 782) dengan nama resmi pemerintahannya Sri Sanggrama Dhananjaya. Dalam prasasti ini, dia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana atau "pembunuh musuh yang berani". Judul serupa juga ditemukan pada prasasti Ligor B yang ditemukan di Semenanjung Malaya Thailand Selatan; Sarwwarimadawimathana, yang menyarankan itu merujuk pada orang yang sama. Dharanindra tampaknya menjadi karakter yang gagah berani dan suka berperang, saat ia memulai ekspedisi angkatan laut militer di luar negeri dan telah membawa kendali Syailendra di Ligor di Semenanjung Malaya.
Raja Indra tampaknya melanjutkan tradisi pembangun pendahulunya. Ia melanjutkan pembangunan candi Manjusrigrha (kompleks Sewu), dan menurut prasasti Karangtengah (tanggal 824) bertanggung jawab atas pembangunan candi Venuvana, yang berhubungan dengan Candi Mendut atau mungkin Candi Ngawen. Dia juga mungkin bertanggung jawab atas konsepsi dan inisiasi pembangunan candi Borobudur dan Pawon.
Dharanindra naik sebagai Maharaja Sriwijaya. Sifat hubungan dekat Syailendra dengan kerajaan tetangga Sriwijaya yang berbasis di Sumatera cukup tidak pasti dan rumit. Tampaknya di masa lalu, keluarga Syailendra termasuk dalam lingkup pengaruh mandala Sriwijaya. Dan untuk jangka waktu berikutnya, raja Syailendra naik menjadi kepala mandala Sriwijaya. Pergeseran yang membuat Syailendra kembali menjadi penguasa Sriwijaya tidak jelas. Apakah dipimpin oleh kampanye militer oleh Dharanindra melawan Sriwijaya di Sumatera, atau lebih mungkin dibentuk oleh aliansi erat dan kekerabatan antara keluarga Syailendra dan Maharaja Sriwijaya. Sumber-sumber Arab menyebutkan bahwa Zabag (Jawa) memerintah Sribuza (Sriwijaya), Kalah (sebuah tempat di semenanjung Melayu, mungkin Kedah), dan Ramni (sebuah tempat di Sumatra, mungkin Lamuri).
Pada tahun 851 seorang saudagar Arab bernama Sulaimaan mencatat peristiwa tentang Sailendra Jawa yang melakukan serangan mendadak terhadap Khmer dengan mendekati ibu kota dari sungai, setelah menyeberangi laut dari Jawa. Raja muda Khmer kemudian dihukum oleh Maharaja, dan kemudian, kerajaan tersebut menjadi vasal dinasti Sailendra.
Pada tahun 916 M, Abu Zaid Hasan menyebut bahwa sebuah kerajaan bernama Zabag menyerbu Kerajaan Khmer, menggunakan 1000 kapal "berukuran sedang", yang menghasilkan kemenangan Zabag. Kepala raja Khmer kemudian dibawa ke Zabag. Terlepas benar atau tidaknya kisah tersebut atau hanya legenda, ia bisa jadi ada kaitannya dengan kemerdekaan Kamboja dari kekuasaan Jawa pada tahun 802 M. Zabag mungkin berhubungan dengan Jawaka/Javaka, yang mungkin merujuk ke Jawa atau Sumatera Selatan.Berdasarkan Prasasti Ligor, Prasasti Tembaga Laguna dan Prasasti Pucangan, pengaruh dan pengetahuan Kerajaan Medang sampai ke Bali, Thailand Selatan, Kerajaan India di Filipina, dan Khmer di Kamboja.
Peralihan kekuasaan

Tidak diketahui apakah Balaputradewa diusir dari Yawadwipa (Jawa) karena sengketa suksesi dengan Rakai Pikatan, atau apakah dia sudah memerintah di Swarnadwipa (Sumatra). Belum diketahui secara pasti, tetapi Balaputradewa dari wangsa Syailendra akhirnya berkuasa di Sumatra dan dinobatkan sebagai raja di Sriwijaya. Sejarawan berpendapat bahwa ini dikarenakan ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, menikah dengan Dewi Tara putri Dharmasetu dari Sriwijaya, ini menjadikan Balaputradewa sebagai pewaris tahta Sriwijaya. Balaputradewa raja Sriwijaya kemudian menyatakan klaimnya sebagai ahli waris yang sah wangsa Syailendra dari garis ayahnya, Samaragrawira raja keempat Medang di Jawa, sebagaimana dinyatakan dalam prasasti Nalanda (860 M).
Prasasti Siwagrha (856 M) menyebutkan tentang peperangan yang menantang pemerintahan Rakai Pikatan, namun prasasti itu tidak menyebutkan siapa musuh yang menantang otoritas Rakai Pikatan. Para sejarawan sebelumnya menyatakan musuh yang dimaksud Balaputradewa, namun kemudian sejarawan lain menyarankan ada musuh lain, alasan tersebut karena saat itu Balaputradewa sudah memerintah di Sriwijaya. Prasasti Siwagrha hanya menyebutkan bahwa pertempuran terjadi di sebuah benteng di atas bukit yang dilindungi oleh sebagian besar dinding batu, bukit benteng ini diidentifikasikan dengan Situs Ratu Boko. Anak tertua dari Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani adalah Rakai Gurunwangi Dyah Saladu. Akhirnya pemberontakan berhasil dikalahkan oleh putra bungsu Rakai Pikatan, Dyah Lokapala yang juga dikenal sebagai Rakai Kayuwangi. Sebagai hadiah atas tindakan heroik dan keberaniannya, orang-orang dan banyak penasihat Rakai Pikatan mendesak agar Lokapala harus dinobatkan sebagai putra mahkota bukannya Gurunwangi, meskipun merupakan saudara tertua. Hilangnya Gurunwangi dalam suksesi, telah menimbulkan pertanyaan di antara para sejarawan. Sebelumnya dianggap bahwa nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu merujuk pada karakter wanita (putri), meskipun lebih mungkin bahwa Gurunwangi adalah seorang pangeran.
Pemberontakan ini tampaknya telah berhasil mengambil alih ibukota di Mataram selama periode tertentu. Setelah mengalahkan perampas, Rakai Pikatan menemukan bahwa pertumpahan darah ini telah membuat ibu kota di Mataram kacau, sehingga ia memindahkan kadaton ke Mamrati atau Amrati yang terletak di suatu tempat di Dataran Kedu (lembah sungai Progo), barat laut dari Mataram.
Kemudian Rakai Pikatan memutuskan untuk turun tahta demi putra bungsunya Dyah Lokapala (memerintah 850–890). Rakai Pikatan pensiun, meninggalkan urusan duniawi dan menjadi seorang pertapa bernama Sang Prabhu Jatiningrat. Acara ini juga ditandai dengan upacara penahbisan citra Siwa di candi utama Prambanan. Boechari menyatakan bahwa musuh yang menantang Rakai Pikatan adalah Rakai Walaing pu Kumbhayoni, seorang Siwais yang kuat dan juga cabang dari dinasti yang berkuasa saat ia mengklaim sebagai keturunan raja yang memerintah Jawa.
Berpindah ke timur

Sekitar tahun 929 M, pusat kedatuan dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok,
yang mendirikan wangsa Isyana. Penyebab pasti dari perpindahan ini masih belum pasti. Sejarawan telah mengusulkan berbagai kemungkinan penyebab; dari bencana alam, wabah epidemi, politik dan perebutan kekuasaan, hingga motif keagamaan atau ekonomi.Menurut teori van Bemmelen, yang didukung oleh Prof. Boechari, perpindahan tersebut disebabkan letusan gunung Merapi yang parah. Sejarawan berpendapat bahwa, beberapa waktu pada masa pemerintahan Dyah Wawa dari Mataram (924–929), gunung Merapi meletus dan menghancurkan ibu kota Medang di Mataram. Letusan gunung Merapi yang besar dan bersejarah ini dikenal sebagai Pralaya Mataram (bencana Mataram). Bukti letusan ini dapat dilihat di beberapa candi yang hampir terkubur di bawah abu Merapi dan puing-puing Merapi, seperti candi Sambisari, candi Morangan, candi Kedulan, candi Kadisoka, dan candi Kimpulan.
Studi terbaru menunjukkan, bahwa bergerak ke arah timur bukanlah peristiwa yang tiba-tiba. Selama periode Medang di Jawa Tengah, kedatuan kemungkinan besar telah berkembang ke arah timur dan membangun pemukiman di sepanjang sungai Brantas di Jawa Timur. Lebih mungkin bahwa langkah itu dilakukan secara bertahap dalam jangka panjang. Penyebab perpindahan itu juga dimotivasi oleh berbagai faktor; baik alam, ekonomi atau politik. Prasasti Sangguran, berasal dari tahun 982 M—ditemukan di Malang, Jawa Timur pada awal abad ke-19 — menyebutkan nama raja Jawa, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa), yang kemudian memerintah wilayah Malang. Ini menunjukkan bahwa bahkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa, wilayah Malang di Jawa Timur sudah termasuk dalam wilayah Kerajaan Medang. Prasasti tersebut memuat unsur-unsur tentang pergeseran kekuasaan yang akibatnya terjadi ke Jawa Timur.

Menurut prasasti Turryan (929 M), Mpu Sindok memindahkan ibukota ke Tamwlang dan kemudian memindahkannya lagi ke Watugaluh. Sejarawan mengidentifikasi nama-nama itu dengan daerah Tambelang dan Megaluh dekat Jombang, Jawa Timur. Meskipun Mpu Sindok membangun dinasti baru atau wangsa Isyana, Mpu Sindok sangat terkait erat dengan leluhurnya di Bhumi Mataram, sehingga ia dianggap sebagai kelanjutan dari garis keturunan Raja Jawa yang membentang dari Sanjaya. Selama masa pemerintahannya Mpu Sindok menciptakan cukup banyak prasasti, sebagian besar terkait dengan pembentukan tanah Sima (tanah bebas pajak), prasasti-prasasti ini antara lain; Prasasti Linggasutan (929), Prasasti Gulung-Gulung (929), Prasasti Cunggrang (929), Prasasti Jeru-Jeru (930), Prasasti Waharu (931), Prasasti Sumbut (931), (935), dan Prasasti Anjuk Ladang (937).
Apa pun alasan sebenarnya di balik perpindahan pusat politik Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, peristiwa ini menandai akhir dari sebuah era kebesaran Syailendra di Mataram. Memang, aktivitas pembangunan candi telah turun-menurun sejak era Dyah Balitung dalam skala, kualitas dan kuantitas, namun periode Jawa Timur kerajaan Medang tidak meninggalkan jejak nyata dari struktur candi apa pun yang sebanding dengan era Syailendra di Jawa Tengah sebelumnya. Mungkin kerajaan Medang tidak lagi memiliki niat dan sumber daya untuk memulai proyek konstruksi skala besar.
Hubungan dengan Bali

Mpu Sindok digantikan oleh putrinya Isyana Tunggawijaya.
Menurut prasasti Gedangan (tanggal 950), Ratu Isyana menikah dengan Sri Lokapala, seorang bangsawan dari Bali. Dia kemudian digantikan oleh putranya Makutawangsawardhana. Menurut prasasti Pucangan (tanggal 1041), Raja Makutawangsawardhana memiliki seorang putri bernama Mahendradatta, Makutawangsawardhana digantikan oleh putranya Dharmawangsa Teguh.Kemudian, Dharmawangsa memindahkan ibukota lagi ke Wwatan, diidentifikasi sebagai daerah Wotan dekat Madiun sekarang ini. Adik Dharmawangsa, Mahendradatta kemudian menikah dengan Udayana Warmadewa, raja Bedahulu di Bali. Laporan ini menunjukkan bahwa entah bagaimana Bali telah diserap ke dalam lingkup pengaruh (mandala) Kerajaan Medang. Dalam perkembangan sastra, Raja Dharmawangsa juga memerintahkan menterjemahkan Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno pada tahun 996.
Hubungan dengan Sriwijaya
Kerajaan Medang memiliki hubungan yang intens dengan Sriwijaya di Sumatra. Pada periode sebelumnya, hubungan keduanya sangat dekat dan erat, karena raja-raja Syailendra di Jawa telah membentuk aliansi dengan raja-raja Sriwijaya di Sumatra dan kedua kerajaan bergabung dalam satu dinasti. Namun pada periode berikutnya, hubungan itu memburuk menjadi peperangan, ketika Dharmawangsa Teguh melancarkan upaya untuk menaklukkan Palembang, dan pembalasan yang dilakukan Sriwijaya terhadap Medang. Di daerah timur, Medang menaklukkan Bali, dan pulau itu menjadi wilayah mandala Medang.
Ekspansi ke luar negeri
Pada tahun 767, pantai Tonkin dihantam oleh serangan Jawa (Daba) dan Kunlun, di sekitar Hanoi yang sekarang adalah ibu kota Tonkin (Annam). Di sekitar Son-tay mereka dikalahkan di tangan gubernur Chang Po-i, setelah Kunlun dan Jawa (Shepo) menyerang Tongking pada tahun 767.
Champa kemudian diserang oleh kapal-kapal Jawa atau Kunlun pada tahun 774 dan 787. Pada tahun 774 sebuah serangan diluncurkan ke Po-Nagar di Nha-trang di mana para perompak menghancurkan kuil-kuil, sementara pada tahun 787 sebuah serangan diluncurkan ke Phang-rang. Beberapa kota pesisir Champa mengalami serangan angkatan laut dan serangan dari Jawa. Armada Jawa disebut sebagai Javabala-sanghair-nāvāgataiḥ (angkatan laut dari Jawa) yang tercatat dalam prasasti Champa. Semua serangan ini diyakini diluncurkan oleh wangsa Sailendra, penguasa Jawa dan Sriwijaya. Kemungkinan penyebab penyerangan orang Jawa di Champa mungkin didorong oleh persaingan perdagangan dalam melayani pasar Cina. Prasasti 787 berada di Yang Tikuh sedangkan prasasti 774 adalah Po-nagar.
Di provinsi Kauthara pada tahun 774, kuil Siva-linga Champa di Po Nagar diserang dan dihancurkan. Sumber Champa menyebutkan penyerbu mereka sebagai orang asing, pelaut, pemakan makanan rendahan, penampilan menakutkan, luar biasa hitam dan kurus. Serangan 774 oleh orang Jawa terjadi di bawah kekuasaan Isvaraloka (Satyavarman). Catatan Champa menyebutkan bahwa negara mereka dihantam oleh para perampok laut yang ganas, kejam, dan berkulit gelap, yang diyakini oleh para sejarawan modern oleh orang Jawa. Jawa memiliki hubungan komersial dan budaya dengan Champa. Dan penyerangan dimulai di Kamboja. Serangan Jawa diluncurkan melalui pulau Pulo Condor. Malaya, Sumatera atau Jawa semua bisa menjadi asal mula para penyerang. Kuil Kauthara Nha Trang di Po Nagar hancur ketika pria-pria ganas, kejam, berkulit gelap yang lahir di negara lain, yang makanannya lebih mengerikan daripada mayat, dan yang ganas dan ganas, datang dengan kapal. . . mengambil [lingga kuil], dan membakar kuil. Pada 774 menurut prasasti Nha Trang dalam bahasa Sansekerta oleh orang Champa. Pria yang lahir di negeri lain, hidup dengan makanan lain, menakutkan untuk dilihat, gelap dan kurus secara tidak wajar, kejam seperti maut, melewati laut dengan kapal dan menyerang pada tahun 774.
Pada tahun 787, para pejuang dari Jawa yang ditumpangi dengan kapal-kapal menyerang Champa. Di Phan-rang, kuil Sri Bhadradhipatlsvara dibakar oleh pasukan laut Jawa pada tahun 787, ketika Indravarman berkuasa di tangan orang Jawa. Disebutkan bahwa tentara Jawa, yang datang dengan kapal dari penyerangan tahun 787, dan serangan sebelumnya, bahwa Satyavarman, Raja Champa mengalahkan mereka saat mereka diikuti oleh kapal-kapal bagus dan dipukuli di laut dan mereka adalah orang-orang yang hidup dari makanan yang lebih mengerikan daripada mayat, menakutkan, benar-benar hitam dan kurus, mengerikan dan jahat seperti kematian, datang dengan kapal di prasasti Nha-trang Po Nagar dalam bahasa Sansekerta, yang disebut mereka pria yang lahir di negara lain. Reruntuhan candi di Panduranga pada tahun 787 terjadi di tangan para penyerang.
Champa adalah penghubung perdagangan penting antara Cina dan Sriwijaya. Majapahit dan para pendahulunya Mataram Jawa memiliki hubungan dengan Champa. Hubungan diplomatik Champa lebih lanjut dengan Jawa terjadi pada tahun 908 dan 911 pada masa pemerintahan Bhadravarman II (memerintah 905–917), di mana raja mengirim dua utusan ke pulau itu.
Prasasti Kaladi (sekitar 909 M), menyebutkan Kmir (orang Khmer dari Kerajaan Khmer) bersama dengan Campa (Champa) dan Rman (Mon) sebagai orang asing dari daratan Asia Tenggara yang sering datang ke Jawa untuk berdagang. Prasasti itu menunjukkan jaringan perdagangan maritim telah dibangun antara kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara dan Jawa.

Nama Medang juga disebutkan dalam Prasasti Keping Tembaga Laguna (sekitar 900 M), ditemukan di Lumban, Laguna, Filipina. Penemuan prasasti, yang ditulis dalam aksara Kawi dalam berbagai bahasa Melayu Kuno yang mengandung banyak kata pinjaman dari bahasa Sanskerta dan beberapa elemen kosakata non-Melayu yang asalnya ambigu antara Jawa Kuno dan Tagalog Kuno, menunjukkan bahwa orang atau pejabat Medang telah memulai perdagangan antar pulau dan hubungan luar negeri di daerah-daerah sejauh Filipina.
Catatan Arab abad ke-10 Ajayeb al-Hind (Keajaiban India) memberikan laporan invasi di Afrika oleh bangsa yang disebut Wakwak atau Waqwaq,
mungkin adalah orang-orang Melayu Sriwijaya atau orang Jawa dari kerajaan Medang, pada 945–946 M. Mereka tiba di pantai Tanganyika dan Mozambik dengan 1000 kapal dan berusaha merebut benteng Qanbaloh, meskipun akhirnya gagal. Alasan serangan itu adalah karena tempat itu memiliki barang-barang yang cocok untuk negara mereka dan China, seperti gading, kulit kura-kura, kulit macan kumbang, dan ambergris, dan juga karena mereka menginginkan budak hitam dari orang Bantu (disebut Zeng atau Zenj oleh orang Arab, Jenggi oleh orang Jawa) yang kuat dan menjadi budak yang baik. Keberadaan orang Afrika berkulit hitam masih dicatat sampai abad ke-15 pada prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno dan orang Jawa masih dicatat mengekspor budak berkulit hitam pada era dinasti Ming.Menurut Prasasti Waharu IV (931 M) dan Prasasti Garaman (1053 M), Kerajaan Medang dan Kerajaan Kahuripan zaman Airlangga (1000–1049 M) di Jawa mengalami masa kemakmuran panjang sehingga membutuhkan banyak tenaga terutama untuk membawa hasil panen, mengemas, dan mengirimkannya ke pelabuhan. Tenaga kerja berupa orang kulit hitam diimpor dari Jenggi (Zanzibar), Pujut (Australia), dan Bondan (Papua).
Menurut Naerssen, mereka tiba di Jawa dengan jalan perdagangan (dibeli oleh pedagang) atau ditawan saat perang dan kemudian dijadikan budak.Penelitian pada tahun 2016 menunjukkan bahwa orang Malagasi memiliki hubungan genetik dengan berbagai kelompok etnis Nusantara, terutama dari Kalimantan bagian selatan. Bagian-bagian dari bahasa Malagasi bersumber dari bahasa Ma'anyan dengan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi linguistik lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu. Orang Ma'anyan dan Dayak bukanlah seorang pelaut dan merupakan penggarap sawah kering sedangkan sebagian orang Malagasi adalah petani sawah basah, sehingga kemungkinan besar mereka dibawa oleh orang Jawa dan Melayu dalam armada dagangnya, sebagai buruh atau budak.
Kegiatan perdagangan dan perbudakan Jawa di Afrika menyebabkan pengaruh yang kuat pada pembuatan perahu di Madagaskar dan pantai Afrika Timur. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cadik dan oculi (hiasan mata) pada perahu-perahu Afrika. Budaya Jawa sepertinya juga mempengaruhi strata sosial di Madagaskar, gelar Malagasi "andriana" mungkin berasal dari gelar kebangsawanan Jawa kuno "Rahadyan" (Ra-hady-an), "hady" yang berarti "pejabat tinggi" atau "tuan".Keruntuhan
Dharmawangsa Teguh melancarkan serangan angkatan laut terhadap Sriwijaya yang berbasis di Sumatera, dalam upaya menguasai jalur perdagangan maritim yang kala itu di kuasai Sriwijaya, sekaligus untuk melumpuhkan kemampuan maritim Sriwijaya. Berita invasi Jawa ke Sriwijaya, ditulis dalam sumber-sumber Tiongkok dari periode Dinasti Song. Pada tahun 988, seorang utusan dari San-fo-tsi (Sriwijaya) dikirim ke istana Tiongkok di Guangzhou. Setelah tinggal sekitar dua tahun di Tiongkok, tersiar kabar bahwa negaranya telah diserang oleh She-po (Jawa) sehingga membuatnya tidak dapat kembali.
Pada 992 utusan dari She-po (Jawa) tiba di istana Tiongkok dan menjelaskan bahwa negara mereka telah terlibat dalam perang berkelanjutan dengan Sriwijaya. Pada tahun 999 utusan Sriwijaya berlayar dari Tiongkok ke Champa dalam upaya untuk kembali, namun ia tidak menerima kabar tentang kondisi negaranya. Utusan Sriwijaya itu lalu berlayar kembali ke Tiongkok dan memohon kepada Kaisar Tiongkok untuk melindungi Sriwijaya dari ancaman Jawa. Invasi Dharmawangsa mengakibatkan raja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa untuk mencari perlindungan dari Tiongkok. Di tengah krisis yang disebabkan oleh invasi Jawa, ia mendapatkan dukungan politik Tiongkok dengan memenuhi tuntutan Kaisar Tiongkok. Pada 1003, sebuah catatan sejarah Dinasti Song melaporkan bahwa utusan San-fo-tsi yang dikirim oleh raja Shi-li-zhu-luo-wu-ni-fo-ma-tiao-hua (Sri Cudamani Warmadewa). Memberi tahu kepada Kaisar Tiongkok bahwa sebuah kuil Buddha telah didirikan di negara mereka untuk berdoa meminta umur panjang Yang Mulia Kaisar Tiongkok, dengan demikian meminta kepada Kaisar untuk memberikan nama dan sebuah lonceng untuk kuil yang dibangun untuk menghormatinya. Dengan gembira, Kaisar Tiongkok menamai kuil tersebut Ch’eng-t’en-wan-shou ('sepuluh ribu tahun menerima berkah dari surga, yaitu Tiongkok) dan sebuah lonceng segera diberikan dan dikirim ke Sriwijaya untuk dipasang di kuil Candi Bungsu, Kompleks Candi Muara Takus, Kampar, Riau.
Setelah 16 tahun masa perang, Sriwijaya berhasil mengusir penjajah Medang dan membebaskan Palembang. Serangan Medang membuka mata Maharaja Sriwijaya tentang betapa berbahayanya musuhnya tersebut. Sebagai balasan ia berencana untuk membalas dan menghancurkan musuh besarnya itu, pada tahun 1016, atas dukungan Sriwijaya, Haji Wurawari memberontak pada kekuasaan Medang. Haji Wurawari adalah pemimpin wilayah bawahan pemerintahan Medang, pasukan Wurawari melancarkan invasi dari arah utara Lwaram untuk menghancurkan istana Medang yang saat itu tengah melangsungkan pesta pernikahan, serangan mendadak dan tak terduga ini terjadi selama upacara pernikahan putri Dharmawangsa dengan Airlangga, yang membuat pihak istana tidak siap dan terkejut yang berakibat pada peristiwa kematian besar raja beserta para kerabat raja di dalam istana.
Bencana ini dicatat sebagai Mahapralaya dalam Prasasti Pucangan, kematian dari raja Dharmawangsa serta hancurnya ibukota Wwatan di bawah tekanan militer Sriwijaya mengakhiri kerajaan Medang dan membuatnya jatuh dalam kekacauan karena tidak adanya seorang penguasa tertinggi, para panglima perang di setiap provinsi, daerah dan pemukiman di Jawa Tengah dan Jawa Timur memberontak, dan melepaskan diri dari pemerintahan pusat Medang untuk membentuk daerah otonom atau pemerintahannya sendiri, selanjutnya perampokan merajalela, kerusuhan, kekerasan dan kejahatan lebih lanjut terjadi beberapa tahun setelah kejatuhan Medang hingga merusak situasi negara.
Airlangga, adalah putra raja Udayana Warmadewa dari Kerajaan Bedahulu Bali dengan ratu Mahendradatta, Airlangga juga merupakan keponakan raja Dharmawangsa yang terbunuh di dalam istana serta sisa keluarga wangsa Isyana yang berhasil lolos bersama dengan putri Dharmawangsa dan melarikan diri ke pengasingan di hutan pegunungan Vana giri, Wonogiri di pedalaman Jawa Tengah. kemudian menuju Sendang Made, Kudu, Jombang. dalam pelarian dan pertapaannya Airlangga didatangi utusan rakyat serta mendapatkan dukungan dari kaum pendeta dan senopati yang masih setia untuk kembali membangun kejayaan Medang, pada 1019 Dia tampil dan mendirikan sebuah kerajaan baru dan dianggap sebagai kelanjutan dari Kerajaan Medang, dengan ibukotanya di Watan Mas yang terletak di sekitar dekat Gunung Penanggungan.
Pemerintahan Medang
Dalam konsep tata negara Jawa Kuno, unsur kerajaan terdiri dari tujuh hal yang disebut Saptāṅga (Sapta Angga). Yaitu raja, wilayah kerajaan, birokrasi (sipil dan kehakiman), rakyat, perbendaharaan kerajaan, angkatan perang, dan negara-negara tetangga & sahabat yang mengakui keberadaan suatu kerajaan. Melalui berita dan tafsir berbagai prasasti, tata pemerintahan Kerajaan Medang dapat terbayang sepenuhnya.
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar 'Ratu'. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan 'Datu' yang berarti "pemimpin". Dalam bahasa Jawa, istilah 'Ratu' digunakan sebagai sinonim 'Datu', sehingga di Jawa istilah Karaton (Karatuan) digunakan sebagai sinonim Kadaton (Kadatuan).
Ketika Rakai Panangkaran berkuasa, gelar 'Ratu' digantikan dengan gelar 'Sri Maharaja'. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja pada Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya saja yang bergelar Sang Ratu.
Aparat Birokrasi
Pada periode awal di Jawa Tengah, terdapat sebuah gelar yang banyak termaktub dalam prasasti-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-10, yaitu gelar 'Raka' (kadang ditulis Rakai). Sesudah masa itu, gelar Raka cenderung tidak lagi dipakai, diganti dengan 'Rakryan' yang merupakan gabungan dari kata raka dan aryan, merujuk kepada tingkat jabatan administrasi negara yang tingkatannya sepadan dengan gelar raka. Namun gelar 'Rakai' umum digunakan oleh pejabat penguasa daerah watak, sedangkan 'Rakryan' untuk pejabat tinggi pemerintahan seperti menteri. Penggunaan gelar rakryan mulai ramai dipergunakan pada periode Jawa Timur dan berlangsung hingga zaman kerajaan Kadiri, Singasari, dan Majapahit.
Raka adalah seorang pemimpin atau penguasa yang telah berhasil menguasai sejumlah wanua (desa/kelurahan) dan watak (kecamatan). Wanua adalah wilayah kecil yang dipimpin oleh seorang Rama (tetua desa), dan gabungan dari sejumlah wanua (desa/kelurahan) disebut watak (kecamatan) yang dipimpin para Raka. Dewan yang terdiri atas para Rama disebut Karaman (arti harfiahnya "tanah para rama").
Pada awal abad ke-8 hingga awal abad ke-10 di Jawa Tengah dikenal empat pangkat jabatan tinggi yang bergelar Rakryān Mahamantri, yaitu i Hino, i Halu, i Sirikan, dan i Wka. Walau prasasti-prasasti tidak menyebutkan secara rinci tingkat kepangkatan dari keempat jabatan tersebut. Namun kemungkinan besar Rakryān Mahamantri i Hino menduduki hierarki tertinggi, tercermin dari gambaran prasasti bahwa pejabat tersebut langsung menerima titah dari Sri Maharaja. Secara rinci berikut adalah daftar 18 pejabat tinggi di Kerajaan Medang yang disebutkan dalam prasasti, tinggi rendahnya kedudukan pejabat-pejabat ini terbayang dari jumlah pasak-pasak yang mereka terima
- Rakryan Mahamantri i Hino,
- Rakryan Mahamantri i Halu,
- Rakryan Mahamantri i Sirikan,
- Rakryan Mahamantri i Wka,
- Rakai Halaran,
- Rakai Palarhyang/Panggilhyang
- Rakai Wlahan,
- Rakai Dalinan,
- Rakai Laṅka,
- Rakai Tanjung,
- Pangkur,
- Tawan,
- Tirip,
- Pamgat Tiruan,
- Pamgat Maṅhuri,
- Pamgat Wadihati,
- Pamgat Makudur,
- Pamgat Bawaṅ
Selain 18 pejabat tinggi di tingkat pusat ini, berita prasasti menyebut masih ada ratusan abdi dalem raja atau Maṅilala Drawya Haji atau Maminta Drawya Haji yang dalam Prasasti Cane 1021 M disebut ada 104 jabatan.
Ibu kota

Kerajaan Medang diperkirakan berdiri di daerah sekitar Magelang dan Yogyakarta. Berdasarkan temuan arkeologi di daerah tersebut banyak ditemukan beberapa prasasti.
Sebenarnya, pusat kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Beberapa daerah yang diperkirakan pernah menjadi lokasi ibu kota Medang berdasarkan analisis prasasti dan catatan sejarah, di antaranya:
Nama raja | Ibu kota | Provinsi | Prasasti atau catatan sejarah | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Sanjaya | Mataram Poh Pitu | Yogyakarta Jawa Tengah | Canggal (732 M) Mantyasih (907 M) | |||||||||
Rakai Pikatan | Mamratipura | Jawa Tengah | Siwagrha (856 M) | |||||||||
Dyah Balitung | Yawapura She-p’o-tch’eng | Jawa Tengah | Catatan dinasti Tang | |||||||||
Mpu Daksa | P’o-lu-chia-sse | Jawa Tengah | Catatan dinasti Tang | |||||||||
Mpu Sindok | Tamwlang | Jawa Timur | (929 M) | |||||||||
Mpu Sindok | Watugaluh | Jawa Timur | Paradah (943 M) | |||||||||
Dharmawangsa | Wwatan | Jawa Timur | Pucangan (1041 M) | |||||||||
Catatan: |
Wangsa yang berkuasa
Wangsa Syailendra
Teori wangsa ganda Syailendra-Sanjaya yang diajukan Bosch dan De Casparis ini ditentang oleh beberapa sejarawan Indonesia di periode selanjutnya. Sebuah teori alternatif, yang diusulkan oleh Poerbatjaraka, menunjukkan bahwa hanya ada satu kerajaan dan satu dinasti, kerajaan disebut sebagai Medang, dengan ibukota di Bhumi Mataram, dan dinasti yang berkuasa adalah Syailendra.
Teori ini didukung dengan interpretasi Boechari tentang Prasasti Sojomerto dan studi Poerbatjaraka pada naskah Carita Parahyangan. Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra pada Prasasti Sojomerto adalah cikal bakal raja-raja keturunan Syailendra yang berkuasa di Jawa dan Sumatra. Poerbatjaraka berpendapat bahwa Sanjaya dan semua keturunannya adalah anggota keluarga Syailendra, yang awalnya adalah pemeluk agama Hindu-Siwa. Kemudian berdasarkan Prasasti Raja Sankhara; putra Sanjaya, Rakai Panangkaran, masuk agama Buddha Mahayana. Dari rangkain peristiwa sejarah tersebut keturunan Syailendra yang kemudian memerintah Medang menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana dan menjadi pelindung agama Buddha di Jawa hingga akhir masa pemerintahan Samaratungga. Hindu Siwa memperoleh kembali dukungan dari kerajaan pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, yang berlangsung sampai akhir Kerajaan Medang. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung, candi Hindu Trimurti Prambanan dibangun dan diperluas di sekitar Yogyakarta.
Dengan perkataan lain, mungkin sekali pendapat Poerbatjaraka adalah benar mengenai asal usul wangsa Syailendra, yaitu mereka adalah pribumi asli Nusantara dan bahwa hanya ada satu wangsa saja, wangsa Syailendra yang anggotanya semula penganut agama Hindu-Siwa (Saiwa), tetapi sejak pemerintahan Rakai Panangkaran menjadi penganut agama Buddha Mahayana untuk kemudian kembali lagi menjadi penganut agama Saiwa sejak pemerintahan Rakai Pikatan.
Wangsa Isyana
Ketika kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang, Jawa Timur sekarang.
Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke Jawa Timur, tetapi ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.
Daftar penguasa Medang
Kerajaan Medang diperintah oleh wangsa atau raja-raja Syailendra dan Isyana yang berkuasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Periode Jawa Tengah
Kurun waktu | Nama pribadi | Apanase (daerah lungguh) | Nama abhiseka | Disebutkan dalam | Tahun |
---|---|---|---|---|---|
716-746 | – | Rakai Matarām Rahyangta ri Mḍang Sanjaya dari Mataram | Śrī Sañjaya Sang Ratu Sañjaya | Prasasti Canggal Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III | 732 907 908 |
746-784 | Dyaḥ Pañcapaṇa (Dyaḥ Sankhara) | Śrī Mahārāja Rakai Panangkaran | Indra Sanggrāmadhanañjaya Śrī Sanggrāmadhanañjaya | Prasasti Kalasan Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III | 778 907 908 |
784–803 | – | Śrī Mahārāja Rakai Panunggalan Rakai Panaraban | Dharmmottungadeva | Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III | 907 908 |
803–827 | Dyaḥ Manara | Śrī Mahārāja Rakai Warak | Samaragrawira | Prasasti Nalanda Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III | 860 907 908 |
827-828 | Dyaḥ Gula | - | - | Wanua Tengah III | 908 |
828-847 | – | Rakryan i Garung Śrī Mahārāja Rakai Garung | Samaratungga | Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III | 819 907 908 |
847–855 | Dyaḥ Salaḍū (Mpu Manuku) | Śrī Mahārāja Rakai Pikatan Rakai Mamrati Rakai Gurunwangi Rakai Patapan | Sang Jatiningrat | Prasasti Munduan Prasasti Siwagrha Prasasti Wantil Prasasti Argapura Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III Prasasti Candi Plaosan | 806 856 856 863 907 908 Pertengahan abad ke-9 |
855–885 | Dyaḥ Lokapāla (Mpu Lokapāla) | Śrī Mahārāja Rakai Kayuwangi | Śrī Sajjanotsavattungga | Prasasti Kuti Prasasti Siwagrha | 840 856 863 907 908 |
885-885 | Dyah Tagwas | Maharaja Dyah Gwas Sri Jayakirtiwardhana | Sri Javakirttiwardhana | Prasasti Er Hangat Prasasti Wanua Tengah III | 888 908 |
885–887 | Dyaḥ Dewendra | Śrī Mahārāja Rake Limus Dyah Dewendra Rakai Panumwangan | – | Prasasti Poh Dulur Prasasti Wanua Tengah III | 890 908 |
887–887 | Dyaḥ Bhadra | Śrī Mahārāja Rakai Gurunwangi Dyah Bhadra | – | Prasasti Munggu Antan Prasasti Wanua Tengah III | 887 908 |
Interegnum (Kekosongan Pemerintahan) 887-894 M | |||||
894–898 | Dyaḥ Jěbang | Śrī Mahārāja Rakai Watuhumalang | – | Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III | 907 908 |
898–910 | Dyah Balitung (Dyaḥ Garuda Mukha) | Śrī Mahārāja Rakai Watukura Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ | Śrī Dharmmodaya Mahāsambu Śrī Īśvarakesvarasamarottungga | Prasasti Telahap Prasasti Mantyasih | 898 907 |
910–919 | Dyaḥ Dakṣottama (Mpu Daksa) | Rakryān Mapatiḥ i Hino Pu Dakṣottama Bāhubajrapratipakṣakṣaya | Śrī Mahārāja Dakṣottama Bāhubajrā Prapakṣakṣaya Uttunggavijaya | Prasasti Palepangan Prasasti Tulangan | 906 910 |
919–924 | Dyah Tulodong | Śrī Mahārāja Rakai Layang Dyah Tlodong | Śrī Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa | Prasasti Lintakan Prasasti Harinjing | 919 |
924–927 | Sri Maharaja Pu Wagiswara | Prasasti Palebuhan | 927 | ||
927–929 | Dyah Wawa | Śrī Mahārāja Rakai Sumba Dyah Wawa Rakai Pangkaja | Śrī Vijayalokanamottungga | Prasasti Wulakan Prasasti Sangguran | 927 928 982 |
Periode Jawa Timur
Kurun waktu | Nama pribadi | Apanase (daerah lungguh) | Nama anumerta | Disebutkan dalam prasasti | Tahun |
---|---|---|---|---|---|
929–947 | Mpu Sindok | Rakai Mahamantri Halu Rakai Mahamantri Hino | Śrī Mahārāja Īśānavikramā Dharmottunggadevavijaya | Prasasti Turryan Prasasti Anjuk Ladang Prasasti Paradah | 929 937 943 |
947–985 | – | – | Śrī Īśāna Tunggavijaya (Sri Isyana Tunggawijaya) | Prasasti Pucangan | 950 1041 |
985–990 | – | – | Śrī Makutavaṃsa Vardhana (Makutawangsawardhana) | Prasasti Wwahan Prasasti Pucangan | 985 1041 |
990–1016 | apañji wijayāmrtawarddhana | – | Śrī Mahārāja Īśāna Dharmavaṃsa Teguh Anantavikramottunggadeva (Dharmawangsa Teguh) | Prasasti Kawambang Kulwan Prasasti Pucangan Prasasti Sirah Keting | 992 1041 1204 |
Warisan Budaya
Candi
Nama | Gambar | Lokasi | Dibangun | Diprakarsai | Keterangan |
---|---|---|---|---|---|
Candi Borobudur | ![]() | Magelang, Jawa Tengah 7°36′29″S 110°12′14″E / 7.608°S 110.204°E | 770 M (awal kontruksi) 825 M (selesai dibangun) | Gunadharma (arsitek), Samaratungga (era) Syailendra (klien) | Candi Borobudur adalah candi Buddha peninggalan Syailendra terbesar di dunia. Dibangun pada pertengahan abad ke-7, kemudian situs bersejarah ini ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu Situs Warisan Dunia (UNESCO’s World Heritage Sites). |
Candi Sewu | ![]() | Klaten, Jawa Tengah 7°44′37″S 110°29′37″E / 7.7435°S 110.4935°E | 782 M (selesai dibangun) | Rakai Panangkaran, Rakai Pikatan (era) Syailendra (klien) | Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha peninggalan Syailendra terbesar kedua di Indonesia setelah Candi Borobudur. |
Candi Sojiwan | Klaten, Jawa Tengah 7°45′39″S 110°29′45″E / 7.76083°S 110.49583°E | 842 M | Rakryan Sanjiwana (era) Syailendra (klien) | – | |
Candi Prambanan | ![]() | Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Klaten, Jawa Tengah 7°45′8″S 110°29′30″E / 7.75222°S 110.49167°E | 850 M (awal kontruksi) | Rakai Pikatan, Dyah Balitung (era) Syailendra (klien) | Candi Prambanan adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-8. Candi ini ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu Situs Warisan Dunia (UNESCO’s World Heritage Sites), sekaligus salah satu candi Hindu terindah di Asia Tenggara. |
Candi Sari | ![]() | Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 7°45′41.49″S 110°28′27″E / 7.7615250°S 110.47417°E | Abad ke-8 | Rakai Panangkaran (era) Syailendra (klien) | – |
Candi Kalasan | ![]() | Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 7°46′12″S 110°28′12″E / 7.770°S 110.470°E | Abad ke-8 | Rakai Panangkaran (era) Syailendra (klien) | – |
Candi Ratu Boko | ![]() | Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 7°46′12″S 110°29′20″E / 7.77000°S 110.48889°E | Abad ke-8 | Rakai Panangkaran (era) Syailendra (klien) | – |
Candi Gebang | ![]() | Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 7°45′05″S 110°24′58″E / 7.751454°S 110.416117°E | Abad ke-8 | Syailendra (klien) | – |
Candi Pawon | ![]() | Magelang, Jawa Tengah 7°36′22″S 110°13′10″E / 7.60616°S 110.219522°E | Abad ke-9 | Syailendra (klien) | – |
Candi Sambisari | ![]() | Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 7°45′45″S 110°26′49″E / 7.7625°S 110.4469°E | Abad ke-9 | Rakai Garung (era) Syailendra (klien) | – |
Candi Plaosan | ![]() | Klaten, Jawa Tengah 7°44′25″S 110°30′16″E / 7.74028°S 110.50444°E | Abad ke-9 | Rakai Pikatan (era) Syailendra (klien) | – |
Candi Banyunibo | ![]() | Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 7°46′40″S 110°29′38″E / 7.77778°S 110.49389°E | Abad ke-9 | Syailendra (klien) | – |
Candi Barong | ![]() | Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 7°46′32″S 110°29′50″E / 7.7754785°S 110.4972972°E | Abad ke-9 | (era) Syailendra (klien) | – |
Candi Gedong Songo | ![]() | Semarang, Jawa Tengah 7°12′37″S 110°20′31″E / 7.21028°S 110.34194°E | Abad ke-9 | Syailendra (klien) | – |
Candi Merak | ![]() | Klaten, Jawa Tengah 7°40′11″S 110°33′05″E / 7.669735°S 110.551275°E | Abad ke-9 | Syailendra (klien) | – |
Candi Bubrah | ![]() | Klaten, Jawa Tengah 7°44′48″S 110°29′34″E / 7.7466°S 110.4929°E | Abad ke-9 | Syailendra (klien) | – |
Candi Ijo | ![]() | Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 7°47′2″S 110°30′44″E / 7.78389°S 110.51222°E | Abad ke-10 | Syailendra (klien) | – |
Karya Sastra
Sang Hyang Kamahayanikan, ditulis oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama.
Prasasti
Prasasti Canggal
Prasasti Kalasan
Prasasti Mantyasih
Prasasti Wanua Tengah III
Prasasti Wantil
Prasasti Wukiran
Prasasti Kwak I
Prasasti Raja Sankhara
Prasasti Ramwi
Prasasti Salingsingan
Prasasti Er Hangat
Prasasti Harinjing
Prasasti Paradah
Prasasti Penampihan
Situs
Nama | Gambar | Lokasi | Dibangun | Diprakarsai | Keterangan |
---|---|---|---|---|---|
Petirtaan Jalatunda | ![]() | Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur 7°36′33″S 112°35′43″E / 7.60917°S 112.59528°E | Abad ke-10 | Isyana (klien) | – |
Petirtaan Belahan | ![]() | Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur | Abad ke-10 | Isyana (klien) | – |
Petirtaan Sumberbeji | ![]() | Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur | Abad ke-10 | Isyana (klien) | – |
Petirtaan Dewi Sri | Nguntoronadi, Kabupaten Magetan, Jawa Timur | Abad ke-10 | Isyana (klien) | – |
Pelestarian
Budaya

Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti tersebar di Jawa, Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Era ini dipandang sebagai zaman keemasan dari peradaban Jawa kuno, yang telah meninggalkan warisan abadi dalam budaya dan sejarah Indonesia. Candi Borobudur dan Prambanan yang monumental dan megah ini telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu Situs Warisan Dunia (UNESCO’s World Heritage Sites), dan menjadi sumber kebanggaan nasional, tidak hanya bagi orang Jawa tetapi juga bagi bangsa Indonesia.

Tidak diduga bahwa dalam Sejarah Indonesia ditemukan sebuah peradaban unggul yang begitu kuat dalam membangun kontruksi bangunan dan pembangunan candi, yang menunjukkan penguasaan teknologi, tenaga kerja, manajemen sumber daya, penyempurnaan estetika dan seni, juga pencapaian arsitektur, pada era kerajaan Medang. Periode antara akhir abad ke-8 hingga akhir abad ke-9, antara masa pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung, telah meninggalkan sejumlah candi yang mengesankan; antara lain adalah candi Borobudur, candi Sewu, dan candi Prambanan.

Era kerajaan Medang disanjung sebagai periode klasik peradaban Jawa; karena selama periode ini budaya, seni dan arsitektur Jawa bersemi dan berkembang lebih jauh, mengkonsolidasikan dan memperpadukan unsur kepercayaan asli orang Jawa dengan pengaruh-pengaruh dharma. Dengan memasukkan kerangka acuan dan elemen Hindu-Buddha ke dalam budaya, seni, dan arsitektur Jawa, serta Sanskertanisasi bahasa Jawa, orang Jawa telah merumuskan gaya Hindu-Buddha Jawa dan berhasil mengembangkan suatu peradaban yang luhur dan cemerlang. Gaya senirupa Syailendra Jawa ini, baik dalam seni pahat dan arsitektur, kemudia pada gilirannya turut memengaruhi corak kesenian di daerah lainnya; khususnya seni Sriwijaya di Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Thailand selatan.
Seni dan arsitektur pembangunan beberapa candi pada awal periode Angkor juga dipercaya dipengaruhi oleh seni dan arsitektur Syailendra di Jawa; kesamaan yang mencolok nampak dari candi Bakong di Kamboja dengan candi Borobudur di Magelang, menunjukkan bahwa candi Bakong terinspirasi oleh desain Borobudur.
Selama periode Medang sejumlah kitab dharma baik dari Hindu atau Buddha, telah mempengaruhi budaya Jawa. Misalnya, kisah-kisah Jataka dan Lalitawistara, juga epos Ramayana dan Mahabharata diadopsi ke dalam versi Jawa. Kisah-kisah dan epos ini selanjutnya akan membentuk budaya Jawa dan seni pertunjukan, seperti tarian Jawa dan seni wayang.

Di selatan Thailand, ada jejak seni dan arsitektur Jawa (sering secara keliru disebut sebagai "peninggalan Sriwijaya"), yang mungkin menunjukkan pengaruh Sailendra di Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malaya. Contohnya adalah Phra Borom Mahathat di Chaiya yang dibangun dengan gaya Jawa yang terbuat dari batu bata dan mortar (sekitar abad ke-9–10), Pagoda Wat Kaew di Chaiya, juga berbentuk Jawa dan Pagoda Wat Long. Wat Mahathat asli di Nakhon Si Thammarat kemudian dibungkus oleh bangunan bergaya Sri Lanka yang lebih besar.
Museum
- Museum Karmawibhangga: Museum ini menampilkan gambar relief Karmawibhangga yang terukir pada kaki tersembunyi Borobudur, beberapa blok batu Borobudur yang terlepas, serta temuan artefak arkeologi yang ditemukan di sekitar Borobudur dan yang berasal dari berbagai situs-situs purbakala di Jawa Tengah.
- Museum Samudra Raksa: Koleksi utama pameran museum ini adalah rekonstruksi Kapal Borobudur dalam ukuran sesungguhnya yang telah menempuh perjalanan napak tilas mengarungi Samudra Hindia dari Jakarta menuju Accra, Ghana pada tahun 2003–2004.
- Balai Konservasi Borobudur: adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertujuan untuk melestarikan cagar budaya di seluruh Indonesia.
- : merupakan sebuah museum yang berada di dalam Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan. Museum ini berisi koleksi benda-benda bersejarah dan berharga berupa arca, artefak, gerabah, gambar struktur Candi Siwa, fosil hewan hingga legenda Roro Jonggrang.
Lihat pula
- Daftar penguasa Jawa
- Wangsa Syailendra
- Wangsa Isyana
- Kerajaan Panjalu
- Kesultanan Mataram
- Medang Kamulan
Kutipan
- Rahardjo, Supratikno (2002). Peradaban Jawa, Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno (dalam bahasa Indonesia). Komuntas Bambu, Jakarta. hlm. 35. ISBN 979-96201-1-2. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
- "Kisah Mataram di Poros Kedu-Prambanan". Kompas.com. 2012-02-18.
- Boechari (2012). Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-91-0520-2.
- "Mataram". Sanskrit dictionary.
- Muljana, Slamet (2005). Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKiS. ISBN 978-979-8451-35-5.
- "Medang". KBBI.
- Redaksi Medang (12 September 2018). "Prasasti Canggal : Prasasti Tertua Di Jawa Yang Berangka Tahun". medang.id (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 4 Januari 2020. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
- Drs. R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed (Edisi 1973, 5th reprint edition in 1988). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 40.
- Cœdès, George (1968). The Indianized states of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 9780824803681.
- Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman kuno (dalam bahasa Indonesian). Balai Pustaka. hlm. 131. ISBN 9789794074084. Diakses tanggal 4 April 2020. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
- Maspero, G. (2002). The Champa Kingdom. Bangkok: White Lotus Co., Ltd. hlm. 48,166,50. ISBN 9747534991.
- Zakharov, Anton A (August 2012). "The Śailendras Reconsidered" (PDF). nsc.iseas.edu.sg. Singapore: The Nalanda-Srivijaya Centre Institute of Southeast Asian Studies. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal November 1, 2013. Diakses tanggal 2013-10-30.
- Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8.
- Rooney, Dawn (16 April 2011). Angkor, Cambodia's Wondrous Khmer Temples. Hong Kong: Odyssey Publications. ISBN 978-9622178021. Diakses tanggal 2019-01-21.
- Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Miksic, John N.; Goh, Geok Yian (2017). Ancient Southeast Asia. London: Routledge. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Prasasti Keping Tembaga Laguna
- Prasasti Ligor
- Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1.
- Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno (dalam bahasa Indonesian). Balai Pustaka. ISBN 979407408X. Diakses tanggal 4 April 2020. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
- Handewi Soegiharto (13 June 2006). "Merapi and the demise of the Mataram kingdom". The Jakarta Post. Diarsipkan dari asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 4 April 2020.
- Brandes, J.L.A. (1913). "Oud-Javaansche Oorkonden. Nagelaten Transscripties". Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en wetenschappen. 60: 12-.
- de Longh, R.C. (1977). Handbook of Oriental Studies. Part 3. Brill. hlm. 55.
- SEAMEO Project in Archaeology and Fine Arts (1984). Final report: Consultative Workshop on Research on Maritime Shipping and Trade Networks in Southeast Asia, I-W7, Cisarua, West Java, Indonesia, November 20-27, 1984. SPAFA Coordinating Unit. hlm. 66.
- David L. Snellgrove (2001). Khmer Civilization and Angkor. Orchid Press. ISBN 978-974-8304-95-3.
- David L. Snellgrove (2004). Angkor, Before and After: A Cultural History of the Khmers. Orchid Press. hlm. 24. ISBN 978-974-524-041-4.
- Čhančhirāyuwat Ratchanī (M.C.) (1987). Towards a History of Laem Thong and Sri Vijaya. Institute of Asian Studies, Chulalongkorn University. hlm. 170. ISBN 978-974-567-501-8.
- The Journal of the Siam Society. 1974. hlm. 300.
- George Cœdès (1968). The Indianized States of South-East Asia. University of Hawaii Press. hlm. 91–. ISBN 978-0-8248-0368-1.
- Tōyō Bunko (Japan) (1972). Memoirs of the Research Department. hlm. 6.Tōyō Bunko (Japan) (1972). Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko (the Oriental Library). Toyo Bunko. hlm. 6.
- Proceedings of the Symposium on 100 Years Development of Krakatau and Its Surroundings, Jakarta, 23-27 August 1983. Indonesian Institute of Sciences. 1985. hlm. 8.
- Greater India Society (1934). Journal. hlm. 69.
- Ralph Bernard Smith (1979). Early South East Asia: essays in archaeology, history, and historical geography. Oxford University Press. hlm. 447.
- Charles Alfred Fisher (1964). South-east Asia: a social, economic, and political geography. Methuen. hlm. 108.
- Ronald Duane Renard; Mahāwitthayālai Phāyap (1986). Anuson Walter Vella. Walter F. Vella Fund, Payap University. University of Hawaii at Manoa. Center for Asian and Pacific Studies. hlm. 121.
- Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient. L'Ecole. 1941. hlm. 263.
- Daniel George Edward Hall; Phút Tấn Nguyễn (1968). Đông Nam Á sử lược. Pacific Northwest Trading Company. hlm. 136.
- Paul Michel Munoz (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. National Book Network. hlm. 136. ISBN 978-981-4155-67-0.
- Daigorō Chihara (1996). Hindu-Buddhist Architecture in Southeast Asia. BRILL. hlm. 88–. ISBN 90-04-10512-3.
- David G. Marr; Anthony Crothers Milner (1986). Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 297–. ISBN 978-9971-988-39-5.
- The South East Asian Review. Institute of South East Asian Studies. 1995. hlm. 26.
- Our Heritage. Sanskrit College. 1980. hlm. 17.
- Warisan Kelantan. Perbadanan Muzium Negeri Kelantan. 1985. hlm. 13.
- Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. The Branch. 1936. hlm. 24.
- George Cœdès (1968). The Indianized States of South-East Asia. University of Hawaii Press. hlm. 95–. ISBN 978-0-8248-0368-1.
- Jan M. Pluvier (1995). Historical Atlas of South-East Asia. E.J. Brill. hlm. 12. ISBN 978-90-04-10238-5.
- Anthony Reid (1 August 2000). Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Silkworm Books. ISBN 978-1-63041-481-8.
- D.G.E. Hall (1966). A History of South-East Asia. hlm. 96.
- Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. The Branch. 1936. hlm. 8.
- Bijan Raj Chatterjee (1964). Indian Cultural Influence in Cambodia. University of Calcutta. hlm. 61.
- Bernard Philippe Groslier (1962). The art of Indochina: including Thailand, Vietnam, Laos and Cambodia. Crown Publishers. hlm. 89.
- Kenneth R. Hall (28 December 2010). A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100–1500. Rowman & Littlefield Publishers. hlm. 75–. ISBN 978-0-7425-6762-7.Kenneth R. Hall (28 December 2010). A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100–1500. Rowman & Littlefield Publishers. hlm. 75. ISBN 978-0-7425-6762-7.
- Văn Giàu Trần; Bạch Đằng Trần (1998). Địa chí văn hóa Thành phố Hồ Chí Minh. Nhà xuất bản Thành phố Hồ Chí Minh. hlm. 131.
- Thê ́Anh Nguyêñ (2008). Parcours d'un historien du Viêt Nam: recueil des articles. Indes savantes. hlm. 115. ISBN 978-2-84654-142-8.
- Andrew David Hardy; Mauro Cucarzi; Patrizia Zolese (2009). Champa and the Archaeology of Mỹ Sơn (Vietnam). NUS Press. hlm. 149–. ISBN 978-9971-69-451-7.
- Huber, Edouard. 1911. L’epigraphie de la dynastie de Dong-duong. BEFEO 11:268–311. p. 299
- Fujita Kayoko; Shiro Momoki; Anthony Reid, ed. (2013). Offshore Asia: Maritime Interactions in Eastern Asia Before Steamships, volume 18 from Nalanda-Sriwijaya series. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 97. ISBN 978-9814311779.
- Kumar, Ann (2012). 'Dominion Over Palm and Pine: Early Indonesia’s Maritime Reach', dalam Geoff Wade (ed.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies), 101–122.
- Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8.
- Wade, Geoff (2012). Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-9814311960.
- Maziyah, Siti (2022). "Analysing the Presence of Enslaved Black People in Ancient Java Society". Journal of Maritime Studies and National Integration. 6 (1): 62–69. doi:10.14710/jmsni.v6i1.14010. ISSN 2579-9215.
- Jákl, Jiří (2017). "Black Africans on the maritime silk route". Indonesia and the Malay World. 45 (133): 334–351. doi:10.1080/13639811.2017.1344050. ISSN 1363-9811.
- Shu, Yuan, ed. (2017). 中国与南海周边关系史 (History of China's Relations with the South China Sea). Beijing Book Co. Inc. ISBN 9787226051870.
一、药材:胡椒、空青、荜拨、番木鳖子、芦荟、闷虫药、没药、荜澄茄、血竭、苏木、大枫子、乌爹泥、金刚子、番红土、肉豆蔻、白豆蔻、藤竭、碗石、黄蜡、阿魏。二、香料:降香、奇南香、檀香、麻滕香、速香、龙脑香、木香、乳香、蔷薇露、黄熟香、安息香、乌香、丁皮(香)。三、珍宝:黄金、宝石、犀角、珍珠、珊瑙、象牙、龟筒、 孔雀尾、翠毛、珊瑚。四、动物:马、西马、红鹦鹉、白鹦鹉、绿鹦鹉、火鸡、白 鹿、白鹤、象、白猴、犀、神鹿(摸)、鹤顶(鸟)、五色鹦鹉、奥里羔兽。五、金 属制品:西洋铁、铁枪、锡、折铁刀、铜鼓。六、布匹:布、油红布、绞布。[4]此 外,爪哇还向明朝输入黑奴、叭喇唬船、爪哇铣、硫黄、瓷釉颜料等。爪哇朝贡贸易 输人物资不仅种类多,而且数虽可观,如洪武十五年(1382年)一次进贡的胡椒就达 七万五千斤。[5]而民间贸易显更大,据葡商Francisco de Sa记载:"万丹、雅加达等港 口每年自漳州有帆船20艘驶来装载3万奎塔尔(quiutai)的胡椒。"1奎塔尔约合59 公斤则当年从爪哇输入中国胡椒达177万公斤。
- Nastiti (2003), dalam Ani Triastanti, 2007, hlm. 39.
- Nastiti (2003), dalam Ani Triastanti, 2007, hlm. 34.
- Kartikaningsih (1992). hlm. 42, dalam Ani Triastanti (2007), hlm. 34.
- Kusuma, Pradiptajati; Brucato, Nicolas; Cox, Murray P.; Pierron, Denis; Razafindrazaka, Harilanto; Adelaar, Alexander; Sudoyo, Herawati; Letellier, Thierry; Ricaut, François-Xavier (2016-05-18). "Contrasting Linguistic and Genetic Origins of the Asian Source Populations of Malagasy". Scientific Reports. 6 (1). doi:10.1038/srep26066. ISSN 2045-2322.
- Murray P. Cox; Michael G. Nelson; Meryanne K. Tumonggor; François-X. Ricaut; Herawati Sudoyo (2012). "A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar". Proceedings of the Royal Society B. 279 (1739): 2761–8. doi:10.1098/rspb.2012.0012. ISSN 0962-8452. PMC 3367776. PMID 22438500.
- Hornell, James (1946). Water Transport: Origins & Early Evolution. Newton Abbot: David & Charles. OCLC 250356881.
- Dick-Read, Robert (2005). The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times. Thurlton.
- Dick-Read, Robert (2008). Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika. PT Mizan Publika. ISBN 9789794335062. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Adelaar, K.A. (2006). The Indonesian migrations to Madagascar: Making sense of the multidisciplinary evidence (PDF). in Adelaar, Austronesian diaspora and the ethnogenesis of people in Indonesian Archipelago, LIPI PRESS. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2009-11-22. Diakses tanggal 2008-05-19.
- Poerbatjaraka, 1958: 254–264
- Sedyawati, Edi, dkk (2012). “Dinasti, Agma, Dan Monumen” dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
- "Raja-raja Mataram Kuna dari Sanjaya Sampai Balitung Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III". Berkala Arkeologi (Vol. 14 No. 2 (1994): Special Issue). 1994. doi:10.30883/jba.v14i2.721. ;
- Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya (dalam bahasa Indonesian). Yogyakarta: LKiS. hlm. 243–244. ISBN 979-8451-62-7. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link) Pemeliharaan CS1: Lokasi penerbit ()
- "Analisis Pertanggalan Prasasti Wanua Tengah III". Berkala Arkeologi (Vol. 14 No. 2 (1994): Special Issue). 1994. doi:10.30883/jba.v14i2.636. ;
- Mark Elliott ... (November 2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet Publications Pty Ltd. hlm. 211–215. ISBN 1-74059-154-2.
- David G. Marr; Anthony Crothers Milner (1986). Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. hlm. 244. ISBN 9971-988-39-9. Diakses tanggal 4 April 2020.
- "Thailand's World : The Srivijaya Kingdom in Thailand". Diarsipkan dari asli tanggal 20 November 2015. Diakses tanggal 25 August 2015.
- "Thailand's World : Srivijaya Art Thailand". Diarsipkan dari asli tanggal 7 July 2006. Diakses tanggal 25 August 2015.
Referensi
- Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Melalui Prasasti. Jakarta: KPG
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
- Triastanti, Ani. Perdagangan Internasional pada Masa Jawa Kuno; Tinjauan Terhadap Data Tertulis Abad X-XII. Skripsi Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2007.
Didahului oleh: Kalingga, Kerajaan Kanjuruhan | Kerajaan Hindu-Budha 732-1016 | Diteruskan oleh: Panjalu |
Penulis: www.NiNa.Az
Tanggal publikasi:
wikipedia, wiki, buku, buku, perpustakaan, artikel, baca, unduh, gratis, unduh gratis, mp3, video, mp4, 3gp, jpg, jpeg, gif, png, gambar, musik, lagu, film, buku, permainan, permainan, ponsel, telepon, android, iOS, apel, ponsel, samsung, iPhone, xiomi, xiaomi, redmi, kehormatan, oppo, nokia, sonya, mi, pc, web, komputer
Kerajaan Medang Jawa kuno translit kaḍatwan mḍaŋ atau sering disebut juga Mataram Kuno adalah kerajaan agraris sekaligus talasokrasi yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke 8 Masehi kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke 10 Masehi yang didirikan oleh Sanjaya Kerajaan ini dipimpin oleh wangsa Syailendra dan wangsa Isyana Kadatuan Medang 732 1016Wilayah kerajaan Medang periode Jawa Tengah dan Jawa Timur serta lingkup pengaruh mandala pada Madura dan Bali Ibu kotaMataram masa Sanjaya Mamratipura masa Rakai Pikatan Poh Pitu masa Dyah Balitung Tamwlang masa Mpu Sindok Watugaluh masa Mpu Sindok Wwatan masa Dharmawangsa Bahasa yang umum digunakanJawa Kuno atau Kawi utama Sanskerta Melayu kuno alternatif AgamaHindu dan BuddhaPemerintahanMonarkiRatu Sri Maharaja 732Sanjaya 746Rakai Panangkaran 784Rakai Panunggalan 803Rakai Warak 829Rakai Garung 847Rakai Pikatan 855Rakai Kayuwangi 929Mpu Sindok 949Sri Isyana Tunggawijaya 955Makutawangsawardhana 990Dharmawangsa TeguhEra SejarahMasa kerajaan klasik awal klasik tua Prasasti Canggal Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang Periode Jawa Tengah 732 Prasasti Turryan Mpu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Medang ke Timur Periode Jawa Timur 929 Prasasti Pucangan Keruntuhan Kerajaan Medang1016Didahului oleh Digantikan oleh krj KerajaanKalingga krj KerajaanKahuripanSunting kotak info Lihat BicaraBantuan penggunaan templat ini Bagian dari seri mengenaiSejarah IndonesiaPrasejarahManusia Jawa1 000 000 BPManusia Flores94 000 12 000 BPBencana alam Toba75 000 BPKebudayaan Buni400 SMKerajaan Hindu BuddhaKerajaan Kutai400 1635Kerajaan Kalingga424 782Tarumanagara450 900Kerajaan Melayu671 1347Sriwijaya671 1028Kerajaan Sunda662 1579Kerajaan Galuh669 1482Kerajaan Bima709 1621Mataram Kuno716 1016Kerajaan Bali914 1908Kerajaan Kahuripan1019 1046Kerajaan Janggala1042 1135Kerajaan Kadiri1042 1222Kerajaan Singasari1222 1292Majapahit1293 1478Kerajaan IslamKesultanan Peureulak840 1292Kerajaan Haru1225 1613Kesultanan Ternate1257 1914Kesultanan Samudera Pasai1267 1521Kesultanan Bone1300 1905Kerajaan Kaimana1309 1963Kesultanan Gowa1320 sekarangKesultanan Limboto1330 1863Kerajaan Pagaruyung1347 1833Kesultanan Brunei1368 1888 sekarang BruneiKesultanan Gorontalo1385 1878Kesultanan Melaka1405 1511Kesultanan Sulu1405 1851Kesultanan Cirebon1445 1677Kesultanan Demak1475 1554Kerajaan Giri1481 1680Kesultanan Bolango1482 1862Kesultanan Aceh1496 1903Kerajaan Balanipa1511 sekarangKesultanan Banten1526 1813Kesultanan Banjar1526 sekarangKerajaan Kalinyamat1527 1599Kesultanan Johor1528 1877Kesultanan Pajang1568 1586Kesultanan Mataram1586 1755Kerajaan Fatagar1600 1963Kesultanan Jambi1615 1904Kesultanan Bima1620 1958Kesultanan Palembang1659 1823Kesultanan Sumbawa1674 1958Kesultanan Kasepuhan1679 1815Kesultanan Kanoman1679 1815Kesultanan Siak1723 1945Kesunanan Surakarta1745 sekarangKesultanan Yogyakarta1755 sekarangKesultanan Kacirebonan1808 1815Kesultanan Deli1814 1946Kesultanan Lingga1824 1911Negara lainnyaKerajaan Soya1200 sekarangKerajaan Bolaang Mongondow1320 1950Kerajaan Manado1500 1670Kerajaan Siau1510 1956Kerajaan Larantuka1515 1962Kerajaan SikkaKerajaan Tagulandang1570 1942Kerajaan Manganitu1600 1944Republik Lanfang1777 1884Kerajaan Lore1903 sekarangKolonialisme EropaPortugis1512 1850VOC1602 1800Jeda kekuasaan Prancis dan Britania1806 1815Hindia Belanda1800 1949Kemunculan IndonesiaKebangkitan Nasional1908 1942Pendudukan Jepang1942 1945Revolusi Nasional1945 1949KemerdekaanRevolusi Nasional Indonesia1945 1949Masa Kemerdekaan1945 1949Republik Indonesia Serikat1949 1950Demokrasi Liberal1950 1959Demokrasi Terpimpin1959 1965Transisi1965 1966Orde Baru1966 1998Reformasi1998 sekarangMenurut topikArkeologi Mata uang Ekonomi MiliterGaris waktu Portal Indonesialbs Sepanjang sejarahnya penduduk kerajaan ini sangat mengandalkan sektor pertanian terutama budidaya padi lahan basah sawah Akan tetapi kemudian kerajaan ini juga mengembangkan sektor niaga maritim Menurut sumber sumber asing dan temuan arkeologis kerajaan ini tampaknya berpenduduk cukup banyak dan memiliki ekonomi yang makmur Kerajaan ini mengembangkan struktur masyarakat yang kompleks memiliki budaya yang berkembang dengan baik serta mencapai kemajuan teknologi dan tingkat peradaban yang luhur dan halus Pada periode antara akhir abad ke 8 dan pertengahan abad ke 9 kerajaan ini mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan mekar berseminya seni dan arsitektur Jawa klasik Hal ini tercermin dari pesatnya pertumbuhan budaya dan maraknya pembangunan aneka candi yang menghiasi bentang kerajaan di tanah Mataram Candi yang terkenal dibangun pada masa kerajaan Medang adalah Kalasan Sewu Borobudur dan Prambanan Kerajaan Mataram dikenal sebagai negeri pembangun candi Kemudian wangsa yang memerintah kerajaan Medang terbagi menjadi dua kubu yang diidentifikasi sebagai Syailendra pemuja Siwa dan Syailendra penganut Buddha Mahayana Indikasi perang saudara terjadi hasilnya adalah wangsa Syailendra dibagi menjadi dua kerajaan yang kuat wangsa Syailendra pemuja Siwa berkuasa di Jawa dipimpin oleh Rakai Pikatan dan wangsa Syailendra penganut Buddha berkuasa di Sumatera dipimpin oleh Balaputradewa Perselisihan di antara mereka berakhir sampai 938 Saka atau sekitar 1016 Masehi ketika raja wangsa Syailendra yang berkedudukan di Sumatera menghasut Haji Wurawari seorang raja bawahan untuk memberontak kepada kekuasaan Dharmawangsa Teguh Dengan dukungan Sriwijaya Raja Wurawari dari arah Lwaram menyerbu ibu kota Wwatan di Jawa Timur Serangan tersebut dilancarkan secara mendadak dan tak terduga Akibatnya kerajaan runtuh luluh lantak tanpa menyisakan apapun kecuali sedikit saja penyintas yang berhasil menyelamatkan diri Seorang penyintas bangsawan Jawa Bali keturunan wangsa Isyana tetap bertahan dan akhirnya berhasil merebut kembali kekuasaan di Jawa Timur Selanjutnya pada tahun 1019 dia mendirikan Kerajaan Kahuripan sebagai kelanjutan dari kerajaan Medang Mataram Tokoh ini adalah Airlangga putra Udayana raja kedelapan dari kerajaan Bedahulu di Bali Ibunya bernama Mahendradatta seorang putri dari raja Medang Makutawangsawardhana Peristiwa tersebut disebutkan dalam prasasti Pucangan yang dikeluarkan oleh Airlangga pada 1041 Selanjutnya kerajaan Airlangga tersebut terbagi menjadi dua kerajaan Panjalu dan kerajaan Janggala EtimologiKompleks candi Prambanan awalnya terdiri dari ratusan candi dibangun dan diperluas pada periode antara pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung Awalnya kerajaan atau kedatuan ini diidentifikasi melalui lokasinya di Yawadwipa Pulau Jawa sebagaimana disebutkan dalam prasasti Canggal 732 M Prasasti itu mendokumentasikan dekrit Sanjaya di mana ia menyatakan dirinya sebagai penguasa universal Mataram Para sejarawan sebelumnya seperti Soekmono mengidentifikasi nama kedatuan ini sebagai Mataram nama geografis bersejarah untuk menyebut kawasan dataran Kewu yang kini berada dalam wilayah administratif provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta Ini didasarkan pada lokasi di mana sebagian besar peninggalan candi ditemukan Etimologi nama Mataram berasal dari istilah bahasa Sanskerta yang memiliki arti ibu Nama Medang muncul kemudian dalam prasasti Anjuk Ladang prasasti Sangguran prasasti Paradah dan beberapa prasasti yang ditemukan di Jawa Timur Sebagai akibatnya para sejarawan cenderung mengidentifikasi periode Jawa Timur 929 1016 M dari kedatuan ini sebagai Medang untuk membedakannya dengan periode Jawa Tengah 732 929 M Meninjau dari beberapa prasasti periode Jawa Timur dijumpai frasa yang tertera di dalam beberapa prasasti antara lain dalam prasasti Anjuk Ladang prasasti Paradah yang menyebutkan kita prasiddha maŋrakṣa kaḍatwan rahyaŋta i mḍaŋ i bhumi mataram Terjemahan inskripsi wahai sekalian engkau yang mulia yang melindungi kedaton leluhurmu di Medang di bumi Mataram Frasa ini mengungkapkan nama kerajaan Ini menunjukkan bahwa nama Medang sudah digunakan pada periode Jawa Tengah sebelumnya Ungkapan mḍaŋ i bhumi mataram berarti Medang di tanah Mataram yang berarti Medang adalah nama kedatuan dengan pusatnya di tanah Mataram Makna kita prasiddha di sini plural sehingga rahyaŋta boleh jadi merujuk kepada para leluhur yang meninggal di Mataram Namun dengan memeriksa frasa dalam prasasti Mantyasih lempeng 1b baris 7 8 yang menyebutkan rahyaŋta rumuhun ri mḍaŋ ri poh pitu rakai mataram saŋ ratu sanjaya Terjemahan inskripsi leluhurmu dahulu di medang di poh pitu penguasa mataram sang ratu sanjaya Frasa ini mengungkapkan bahwa Sanjaya sebagai Rakai penguasa di tanah Mataram Ini menunjukkan bahwa nama Medang sudah digunakan pada periode Jawa Tengah Ungkapan rahyaŋta rumuhun ri mḍaŋ ri poh pitu berarti leluhur dahulu ada di Medang di Poh Pitu yang berarti Mataram adalah sebagai nama wilayah administratif setingkat provinsi atau daerah khusus bagi kerajaan Medang Asal usul nama mdaŋ mungkin berasal dari nama lokal pohon Medang tumbuhan berbunga yang merujuk pada genus Phoebe Sanjaya mulanya mendirikan kadaton Medang di Bhumi Mataram kemudian dipindah istananya oleh Rakai Pikatan ke Mamrati Kemudian pada era Dyah Balitung Rakai Watukura istana Medang dipindahkan ke Poh Pitu Kembali lagi ke Bhumi Mataram pada era Dyah Wawa Rakai Sumba Kemudian Mpu Sindok yang mendirikan wangsa Isyana memindahkan pusat kedatuan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tanpa memutus hubungan dengan leluhur terdahulu ia menyebut leluhurnya dengan kalimat rahyaŋta i mḍaŋ i bhumi mataram pada prasasti Anjuk Ladang dan prasasti Paradah Letusan Gunung Merapi yang parah mungkin telah menyebabkan pemindahan pusat kedatuan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Sejarawan menyatakan bahwa beberapa waktu pada masa pemerintahan Dyah Wawa dari Bhumi Mataram 924 929 Gunung Merapi meletus dan menghancurkan ibu kota Medang di Mataram Letusan Gunung Merapi ini dikenal dengan sebutan Pralaya Mataram bencana Mataram Di Jawa Timur ibu kota baru Medang berada di Tamwlang Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh dan terakhir ke Wwatan pada masa Dharmawangsa Teguh Penyebutan bersejarah nama kerajaan Mataram tidak dapat disamakan dengan kota Mataram yang terletak di Pulau Lombok ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat Dahulu di Kota Mataram pernah berdiri sebuah kerajaan bernama puri Cakranegara yang didirikan oleh bangsawan dari Kerajaan Karangasem di Bali pada awal abad ke 19 Sesungguhnya nama Kota Mataram memang diambil berdasarkan nama kerajaan historis Mataram yamg ada di Jawa Ini dalah praktik yang lazim bagi orang Bali untuk memberi nama pemukiman mereka yang sama dengan nama tempat di Jawa sesuai dengan warisan budaya Majapahit mereka SejarahBerdirinya Medang Prasasti Canggal 732 disimpan di Museum Nasional Indonesia Catatan awal Kerajaan Medang ada dalam prasasti Canggal 732 ditemukan di dalam kompleks Candi Gunung Wukir di dusun Canggal barat daya Kabupaten Magelang Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan aksara Pallawa menceritakan tentang pendirian Siwalingga lambang Siwa di bukit di daerah Kunjarakunjadeca Kunjarakunja yang terletak di pulau bernama Yawadwipa Jawa yang diberkahi dengan banyak beras dan emas Pembentukan lingga berada di bawah perintah Sanjaya Prasasti ini menceritakan bahwa di Yawadwipa dahulu diperintah oleh raja Sanna yang bijaksana adil dalam tindakannya perwira dalam peperangan bermurah hati kepada rakyatnya Setelah mangkatnya Sanna negara berkabung jatuh dalam perpecahan Pengganti raja Sanna yaitu putra saudara perempuannya Sannaha bernama Sanjaya Dia menaklukkan daerah daerah di sekitar kerajaannya dan pemerintahannya yang bijak memberkati tanahnya dengan kedamaian dan kemakmuran bagi semua rakyatnya Pada prasasti Taji Prasasti Tulang Er dan prasasti Timbangan Wungkal ditemukan istilah Sanjayawarsa Kalender Sanjaya disebutkan dalam prasasti tersebut bahwa tahun 1 Sanjaya sama dengan tahun 716 Masehi Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun 716 M ini merupakan tahun kelahiran Sanjaya atau tahun berdirinya kedatuan Menurut prasasti Canggal Sanjaya mendirikan kedatuan baru di tengah Pulau Jawa bagian selatan Namun tampaknya itu merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya yang diperintah oleh Sanna Kejayaan Medang Replika temuan Wonoboyo temuan artefak emas dan perak dipamerkan di Museum Prambanan Temuan Wonoboyo asli disimpan di Museum Nasional Indonesia Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung rentang antara 760 910 yang berlangsung selama 150 tahun ditandai sebagai era puncak kejayaan peradaban Jawa kuno Pada periode ini seni budaya dan arsitektur Jawa kuno tumbuh mekar bersemi Ditandai dengan pembangunan sejumlah candi dan monumen nan megah marak membentang menghiasi cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu Candi yang paling terkenal adalah candi Sewu Borobudur dan Prambanan Wangsa Syailendra dikenal sebagai pembangun candi yang hebat 89 90 Negeri pembangun candi Dari abad ke 7 hingga pertengahan ke 10 Kerajaan Medang terdapat berkembangnya peradaban yang megah terutama seni arsitektur Jawa Kuno berupa bangunan bangunan suci Hindu Buddha yang membentang cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu Candi paling awal dibangun era Medang adalah candi Gunung Wukir berdasarkan prasasti Canggal candi ini didirikan pada saat pemerintahan raja Sanjaya pada tahun 732 M 654 Saka Prasasti Canggal memiliki banyak informasi terkait dengan awal berdirinya Medang Berdasarkan prasasti tersebut candi Gunung Wukir mungkin memiliki nama asli Kunjarakunja Hampir lima puluh tahun kemudian candi Buddha tertua dibangun di wilayah dataran Kewu candi Kalasan terkait dengan prasasti Kalasan 778 M dan Rakai Panangkaran Sejak saat itu kerajaan Medang kedapatan proyek pembangunan candi yang tersebar di dataran Kewu dan dataran Kedu seperti candi Sari candi Sewu candi Lumbung candi Ngawen candi Mendut candi Pawon dan puncaknya pada era raja Samaratungga yang memprakarsai pembangunan candi Borobudur candi monumental besar berbentuk seperti gunung yang diselingi dengan stupa dan selesai dibangun pada 825 M Arsitektur monumental lainnya yaitu candi Prambanan awalnya dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan 838 850 dan diperluas pembangunannya masa pemerintahan Rakai Kayuwangi 850 890 ke Dyah Balitung 899 911 bangunan candi tersebut juga disebutkan dalam prasasti Siwagrha Prambanan merupakan kompleks candi Hindu yang didedikasikan untuk Trimurti tiga dewa tertinggi Siwa Brahma Wisnu Itu adalah candi Hindu terbesar yang pernah dibangun di Indonesia bukti kemegahan arsitektur dan pencapaian budaya Medang Candi Hindu lainnya yang berasal dari Medang adalah candi Sambisari candi Gebang candi Barong candi Ijo dan candi Morangan Meskipun Siwais umat Buddha tetap berada di bawah perlindungan kerajaan Candi Sewu yang didedikasikan untuk Manjusri Buddha menurut prasasti Kelurak mungkin awalnya dibangun oleh Rakai Panangkaran tetapi kemudian pembangunannya diperluas dan selesai pada masa pemerintahan Rakai Pikatan seorang raja beragama Hindu Siwa yang menikah dengan Pramodhawardhani seorang putri raja Samaratungga beragama Buddha Sebagian besar rakyatnya mempertahankan agama lama mereka Hindu dan Buddha hidup berdampingan secara harmonis Candi Buddha seperti candi Plaosan candi Banyunibo dan candi Sojiwan juga dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani Penakluk agung Seni SailendraAwalokiteshwara dari Bingin Jungut Musi Rawas Sumatera Selatan Langgam Sriwijaya abad ke 8 sampai ke 9 M mirip langam seni Sailendra Jawa Tengah Rupang Awalokiteshwara dalam Candi Mendut contoh langgam seni Sailendra Pembangunan candi ini dimulai dan diselesaikan pada masa pemerintahan Raja Indra memerintah 780 800 Arca torso perunggu bodhisattwa Padmapani langgam Sriwijaya abad ke 8 Chaiya Surat Thani Thailand Selatan Arca ini menggambarkan pengaruh langgam Sailendra dari Jawa Tengah Ada beberapa laporan bahwa ada serangan angkatan laut Jawa yang menyerbu Tran nam pada tahun 767 Champa pada tahun 774 dan Champa lagi pada tahun 787 Penerus Panangkaran adalah Dharanindra memerintah 780 800 atau biasa disebut Raja Indra Ia disebutkan dalam prasasti Kelurak tanggal 782 dengan nama resmi pemerintahannya Sri Sanggrama Dhananjaya Dalam prasasti ini dia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana atau pembunuh musuh yang berani Judul serupa juga ditemukan pada prasasti Ligor B yang ditemukan di Semenanjung Malaya Thailand Selatan Sarwwarimadawimathana yang menyarankan itu merujuk pada orang yang sama Dharanindra tampaknya menjadi karakter yang gagah berani dan suka berperang saat ia memulai ekspedisi angkatan laut militer di luar negeri dan telah membawa kendali Syailendra di Ligor di Semenanjung Malaya 91 92 Raja Indra tampaknya melanjutkan tradisi pembangun pendahulunya Ia melanjutkan pembangunan candi Manjusrigrha kompleks Sewu dan menurut prasasti Karangtengah tanggal 824 bertanggung jawab atas pembangunan candi Venuvana yang berhubungan dengan Candi Mendut atau mungkin Candi Ngawen Dia juga mungkin bertanggung jawab atas konsepsi dan inisiasi pembangunan candi Borobudur dan Pawon Dharanindra naik sebagai Maharaja Sriwijaya Sifat hubungan dekat Syailendra dengan kerajaan tetangga Sriwijaya yang berbasis di Sumatera cukup tidak pasti dan rumit Tampaknya di masa lalu keluarga Syailendra termasuk dalam lingkup pengaruh mandala Sriwijaya Dan untuk jangka waktu berikutnya raja Syailendra naik menjadi kepala mandala Sriwijaya Pergeseran yang membuat Syailendra kembali menjadi penguasa Sriwijaya tidak jelas Apakah dipimpin oleh kampanye militer oleh Dharanindra melawan Sriwijaya di Sumatera atau lebih mungkin dibentuk oleh aliansi erat dan kekerabatan antara keluarga Syailendra dan Maharaja Sriwijaya Sumber sumber Arab menyebutkan bahwa Zabag Jawa memerintah Sribuza Sriwijaya Kalah sebuah tempat di semenanjung Melayu mungkin Kedah dan Ramni sebuah tempat di Sumatra mungkin Lamuri 20 23 hlm 8 10 30 31 Pada tahun 851 seorang saudagar Arab bernama Sulaimaan mencatat peristiwa tentang Sailendra Jawa yang melakukan serangan mendadak terhadap Khmer dengan mendekati ibu kota dari sungai setelah menyeberangi laut dari Jawa Raja muda Khmer kemudian dihukum oleh Maharaja dan kemudian kerajaan tersebut menjadi vasal dinasti Sailendra 35 Pada tahun 916 M Abu Zaid Hasan menyebut bahwa sebuah kerajaan bernama Zabag menyerbu Kerajaan Khmer menggunakan 1000 kapal berukuran sedang yang menghasilkan kemenangan Zabag Kepala raja Khmer kemudian dibawa ke Zabag 137 138 Terlepas benar atau tidaknya kisah tersebut atau hanya legenda ia bisa jadi ada kaitannya dengan kemerdekaan Kamboja dari kekuasaan Jawa pada tahun 802 M Zabag mungkin berhubungan dengan Jawaka Javaka yang mungkin merujuk ke Jawa atau Sumatera Selatan 269 302 Berdasarkan Prasasti Ligor Prasasti Tembaga Laguna dan Prasasti Pucangan pengaruh dan pengetahuan Kerajaan Medang sampai ke Bali Thailand Selatan Kerajaan India di Filipina dan Khmer di Kamboja Peralihan kekuasaan Ratu Boko sebuah bukit berbenteng disebut dalam Prasasti Siwagrha sebagai lokasi pertempuran Tidak diketahui apakah Balaputradewa diusir dari Yawadwipa Jawa karena sengketa suksesi dengan Rakai Pikatan atau apakah dia sudah memerintah di Swarnadwipa Sumatra Belum diketahui secara pasti tetapi Balaputradewa dari wangsa Syailendra akhirnya berkuasa di Sumatra dan dinobatkan sebagai raja di Sriwijaya Sejarawan berpendapat bahwa ini dikarenakan ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira menikah dengan Dewi Tara putri Dharmasetu dari Sriwijaya ini menjadikan Balaputradewa sebagai pewaris tahta Sriwijaya Balaputradewa raja Sriwijaya kemudian menyatakan klaimnya sebagai ahli waris yang sah wangsa Syailendra dari garis ayahnya Samaragrawira raja keempat Medang di Jawa sebagaimana dinyatakan dalam prasasti Nalanda 860 M 108 Prasasti Siwagrha 856 M menyebutkan tentang peperangan yang menantang pemerintahan Rakai Pikatan namun prasasti itu tidak menyebutkan siapa musuh yang menantang otoritas Rakai Pikatan Para sejarawan sebelumnya menyatakan musuh yang dimaksud Balaputradewa namun kemudian sejarawan lain menyarankan ada musuh lain alasan tersebut karena saat itu Balaputradewa sudah memerintah di Sriwijaya Prasasti Siwagrha hanya menyebutkan bahwa pertempuran terjadi di sebuah benteng di atas bukit yang dilindungi oleh sebagian besar dinding batu bukit benteng ini diidentifikasikan dengan Situs Ratu Boko Anak tertua dari Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani adalah Rakai Gurunwangi Dyah Saladu Akhirnya pemberontakan berhasil dikalahkan oleh putra bungsu Rakai Pikatan Dyah Lokapala yang juga dikenal sebagai Rakai Kayuwangi Sebagai hadiah atas tindakan heroik dan keberaniannya orang orang dan banyak penasihat Rakai Pikatan mendesak agar Lokapala harus dinobatkan sebagai putra mahkota bukannya Gurunwangi meskipun merupakan saudara tertua Hilangnya Gurunwangi dalam suksesi telah menimbulkan pertanyaan di antara para sejarawan Sebelumnya dianggap bahwa nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu merujuk pada karakter wanita putri meskipun lebih mungkin bahwa Gurunwangi adalah seorang pangeran Pemberontakan ini tampaknya telah berhasil mengambil alih ibukota di Mataram selama periode tertentu Setelah mengalahkan perampas Rakai Pikatan menemukan bahwa pertumpahan darah ini telah membuat ibu kota di Mataram kacau sehingga ia memindahkan kadaton ke Mamrati atau Amrati yang terletak di suatu tempat di Dataran Kedu lembah sungai Progo barat laut dari Mataram Kemudian Rakai Pikatan memutuskan untuk turun tahta demi putra bungsunya Dyah Lokapala memerintah 850 890 Rakai Pikatan pensiun meninggalkan urusan duniawi dan menjadi seorang pertapa bernama Sang Prabhu Jatiningrat Acara ini juga ditandai dengan upacara penahbisan citra Siwa di candi utama Prambanan Boechari menyatakan bahwa musuh yang menantang Rakai Pikatan adalah Rakai Walaing pu Kumbhayoni seorang Siwais yang kuat dan juga cabang dari dinasti yang berkuasa saat ia mengklaim sebagai keturunan raja yang memerintah Jawa 159 Berpindah ke timur Candi Sambisari terkubur lima meter di bawah reruntuhan vulkanik gunung Merapi Sekitar tahun 929 M pusat kedatuan dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok 128 yang mendirikan wangsa Isyana Penyebab pasti dari perpindahan ini masih belum pasti Sejarawan telah mengusulkan berbagai kemungkinan penyebab dari bencana alam wabah epidemi politik dan perebutan kekuasaan hingga motif keagamaan atau ekonomi Menurut teori van Bemmelen yang didukung oleh Prof Boechari perpindahan tersebut disebabkan letusan gunung Merapi yang parah Sejarawan berpendapat bahwa beberapa waktu pada masa pemerintahan Dyah Wawa dari Mataram 924 929 gunung Merapi meletus dan menghancurkan ibu kota Medang di Mataram Letusan gunung Merapi yang besar dan bersejarah ini dikenal sebagai Pralaya Mataram bencana Mataram Bukti letusan ini dapat dilihat di beberapa candi yang hampir terkubur di bawah abu Merapi dan puing puing Merapi seperti candi Sambisari candi Morangan candi Kedulan candi Kadisoka dan candi Kimpulan Studi terbaru menunjukkan bahwa bergerak ke arah timur bukanlah peristiwa yang tiba tiba Selama periode Medang di Jawa Tengah kedatuan kemungkinan besar telah berkembang ke arah timur dan membangun pemukiman di sepanjang sungai Brantas di Jawa Timur Lebih mungkin bahwa langkah itu dilakukan secara bertahap dalam jangka panjang Penyebab perpindahan itu juga dimotivasi oleh berbagai faktor baik alam ekonomi atau politik Prasasti Sangguran berasal dari tahun 982 M ditemukan di Malang Jawa Timur pada awal abad ke 19 menyebutkan nama raja Jawa Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga Dyah Wawa yang kemudian memerintah wilayah Malang Ini menunjukkan bahwa bahkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa wilayah Malang di Jawa Timur sudah termasuk dalam wilayah Kerajaan Medang Prasasti tersebut memuat unsur unsur tentang pergeseran kekuasaan yang akibatnya terjadi ke Jawa Timur Prasasti Anjuk Ladang 937 diterbitkan oleh Mpu Sindok selama konsolidasi kekuasaannya di Jawa Timur Menurut prasasti Turryan 929 M Mpu Sindok memindahkan ibukota ke Tamwlang dan kemudian memindahkannya lagi ke Watugaluh Sejarawan mengidentifikasi nama nama itu dengan daerah Tambelang dan Megaluh dekat Jombang Jawa Timur Meskipun Mpu Sindok membangun dinasti baru atau wangsa Isyana Mpu Sindok sangat terkait erat dengan leluhurnya di Bhumi Mataram sehingga ia dianggap sebagai kelanjutan dari garis keturunan Raja Jawa yang membentang dari Sanjaya Selama masa pemerintahannya Mpu Sindok menciptakan cukup banyak prasasti sebagian besar terkait dengan pembentukan tanah Sima tanah bebas pajak prasasti prasasti ini antara lain Prasasti Linggasutan 929 Prasasti Gulung Gulung 929 Prasasti Cunggrang 929 Prasasti Jeru Jeru 930 Prasasti Waharu 931 Prasasti Sumbut 931 935 dan Prasasti Anjuk Ladang 937 Apa pun alasan sebenarnya di balik perpindahan pusat politik Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur peristiwa ini menandai akhir dari sebuah era kebesaran Syailendra di Mataram Memang aktivitas pembangunan candi telah turun menurun sejak era Dyah Balitung dalam skala kualitas dan kuantitas namun periode Jawa Timur kerajaan Medang tidak meninggalkan jejak nyata dari struktur candi apa pun yang sebanding dengan era Syailendra di Jawa Tengah sebelumnya Mungkin kerajaan Medang tidak lagi memiliki niat dan sumber daya untuk memulai proyek konstruksi skala besar Hubungan dengan Bali Bodhisattva Manjusri dari Goa Gajah Bali menunjukkan pengaruh kesenian wangsa Syailendra Mpu Sindok digantikan oleh putrinya Isyana Tunggawijaya 129 Menurut prasasti Gedangan tanggal 950 Ratu Isyana menikah dengan Sri Lokapala seorang bangsawan dari Bali Dia kemudian digantikan oleh putranya Makutawangsawardhana Menurut prasasti Pucangan tanggal 1041 Raja Makutawangsawardhana memiliki seorang putri bernama Mahendradatta Makutawangsawardhana digantikan oleh putranya Dharmawangsa Teguh Kemudian Dharmawangsa memindahkan ibukota lagi ke Wwatan diidentifikasi sebagai daerah Wotan dekat Madiun sekarang ini Adik Dharmawangsa Mahendradatta kemudian menikah dengan Udayana Warmadewa raja Bedahulu di Bali Laporan ini menunjukkan bahwa entah bagaimana Bali telah diserap ke dalam lingkup pengaruh mandala Kerajaan Medang Dalam perkembangan sastra Raja Dharmawangsa juga memerintahkan menterjemahkan Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno pada tahun 996 Hubungan dengan Sriwijaya Kerajaan Medang memiliki hubungan yang intens dengan Sriwijaya di Sumatra Pada periode sebelumnya hubungan keduanya sangat dekat dan erat karena raja raja Syailendra di Jawa telah membentuk aliansi dengan raja raja Sriwijaya di Sumatra dan kedua kerajaan bergabung dalam satu dinasti Namun pada periode berikutnya hubungan itu memburuk menjadi peperangan ketika Dharmawangsa Teguh melancarkan upaya untuk menaklukkan Palembang dan pembalasan yang dilakukan Sriwijaya terhadap Medang Di daerah timur Medang menaklukkan Bali dan pulau itu menjadi wilayah mandala Medang Ekspansi ke luar negeri Pada tahun 767 pantai Tonkin dihantam oleh serangan Jawa Daba dan Kunlun di sekitar Hanoi yang sekarang adalah ibu kota Tonkin Annam Di sekitar Son tay mereka dikalahkan di tangan gubernur Chang Po i setelah Kunlun dan Jawa Shepo menyerang Tongking pada tahun 767 Champa kemudian diserang oleh kapal kapal Jawa atau Kunlun pada tahun 774 dan 787 Pada tahun 774 sebuah serangan diluncurkan ke Po Nagar di Nha trang di mana para perompak menghancurkan kuil kuil sementara pada tahun 787 sebuah serangan diluncurkan ke Phang rang Beberapa kota pesisir Champa mengalami serangan angkatan laut dan serangan dari Jawa Armada Jawa disebut sebagai Javabala sanghair navagataiḥ angkatan laut dari Jawa yang tercatat dalam prasasti Champa Semua serangan ini diyakini diluncurkan oleh wangsa Sailendra penguasa Jawa dan Sriwijaya Kemungkinan penyebab penyerangan orang Jawa di Champa mungkin didorong oleh persaingan perdagangan dalam melayani pasar Cina Prasasti 787 berada di Yang Tikuh sedangkan prasasti 774 adalah Po nagar Di provinsi Kauthara pada tahun 774 kuil Siva linga Champa di Po Nagar diserang dan dihancurkan Sumber Champa menyebutkan penyerbu mereka sebagai orang asing pelaut pemakan makanan rendahan penampilan menakutkan luar biasa hitam dan kurus Serangan 774 oleh orang Jawa terjadi di bawah kekuasaan Isvaraloka Satyavarman Catatan Champa menyebutkan bahwa negara mereka dihantam oleh para perampok laut yang ganas kejam dan berkulit gelap yang diyakini oleh para sejarawan modern oleh orang Jawa Jawa memiliki hubungan komersial dan budaya dengan Champa Dan penyerangan dimulai di Kamboja Serangan Jawa diluncurkan melalui pulau Pulo Condor Malaya Sumatera atau Jawa semua bisa menjadi asal mula para penyerang Kuil Kauthara Nha Trang di Po Nagar hancur ketika pria pria ganas kejam berkulit gelap yang lahir di negara lain yang makanannya lebih mengerikan daripada mayat dan yang ganas dan ganas datang dengan kapal mengambil lingga kuil dan membakar kuil Pada 774 menurut prasasti Nha Trang dalam bahasa Sansekerta oleh orang Champa Pria yang lahir di negeri lain hidup dengan makanan lain menakutkan untuk dilihat gelap dan kurus secara tidak wajar kejam seperti maut melewati laut dengan kapal dan menyerang pada tahun 774 Pada tahun 787 para pejuang dari Jawa yang ditumpangi dengan kapal kapal menyerang Champa Di Phan rang kuil Sri Bhadradhipatlsvara dibakar oleh pasukan laut Jawa pada tahun 787 ketika Indravarman berkuasa di tangan orang Jawa Disebutkan bahwa tentara Jawa yang datang dengan kapal dari penyerangan tahun 787 dan serangan sebelumnya bahwa Satyavarman Raja Champa mengalahkan mereka saat mereka diikuti oleh kapal kapal bagus dan dipukuli di laut dan mereka adalah orang orang yang hidup dari makanan yang lebih mengerikan daripada mayat menakutkan benar benar hitam dan kurus mengerikan dan jahat seperti kematian datang dengan kapal di prasasti Nha trang Po Nagar dalam bahasa Sansekerta yang disebut mereka pria yang lahir di negara lain Reruntuhan candi di Panduranga pada tahun 787 terjadi di tangan para penyerang Champa adalah penghubung perdagangan penting antara Cina dan Sriwijaya Majapahit dan para pendahulunya Mataram Jawa memiliki hubungan dengan Champa Hubungan diplomatik Champa lebih lanjut dengan Jawa terjadi pada tahun 908 dan 911 pada masa pemerintahan Bhadravarman II memerintah 905 917 di mana raja mengirim dua utusan ke pulau itu Prasasti Kaladi sekitar 909 M menyebutkan Kmir orang Khmer dari Kerajaan Khmer bersama dengan Campa Champa dan Rman Mon sebagai orang asing dari daratan Asia Tenggara yang sering datang ke Jawa untuk berdagang Prasasti itu menunjukkan jaringan perdagangan maritim telah dibangun antara kerajaan kerajaan di daratan Asia Tenggara dan Jawa Prasasti Keping Tembaga Laguna sekitar 900 M dari daerah Laguna de Bay di Luzon Filipina Prasasti ini menyebutkan pamegat dari Medang sebagai salah satu pihak berwenang dalam penyelesaian hutang yang terutang kepada pamegat senapati dari Tundun Nama Medang juga disebutkan dalam Prasasti Keping Tembaga Laguna sekitar 900 M ditemukan di Lumban Laguna Filipina Penemuan prasasti yang ditulis dalam aksara Kawi dalam berbagai bahasa Melayu Kuno yang mengandung banyak kata pinjaman dari bahasa Sanskerta dan beberapa elemen kosakata non Melayu yang asalnya ambigu antara Jawa Kuno dan Tagalog Kuno menunjukkan bahwa orang atau pejabat Medang telah memulai perdagangan antar pulau dan hubungan luar negeri di daerah daerah sejauh Filipina Catatan Arab abad ke 10 Ajayeb al Hind Keajaiban India memberikan laporan invasi di Afrika oleh bangsa yang disebut Wakwak atau Waqwaq 110 mungkin adalah orang orang Melayu Sriwijaya atau orang Jawa dari kerajaan Medang 39 pada 945 946 M Mereka tiba di pantai Tanganyika dan Mozambik dengan 1000 kapal dan berusaha merebut benteng Qanbaloh meskipun akhirnya gagal Alasan serangan itu adalah karena tempat itu memiliki barang barang yang cocok untuk negara mereka dan China seperti gading kulit kura kura kulit macan kumbang dan ambergris dan juga karena mereka menginginkan budak hitam dari orang Bantu disebut Zeng atau Zenj oleh orang Arab Jenggi oleh orang Jawa yang kuat dan menjadi budak yang baik Keberadaan orang Afrika berkulit hitam masih dicatat sampai abad ke 15 pada prasasti prasasti berbahasa Jawa kuno dan orang Jawa masih dicatat mengekspor budak berkulit hitam pada era dinasti Ming Menurut Prasasti Waharu IV 931 M dan Prasasti Garaman 1053 M Kerajaan Medang dan Kerajaan Kahuripan zaman Airlangga 1000 1049 M di Jawa mengalami masa kemakmuran panjang sehingga membutuhkan banyak tenaga terutama untuk membawa hasil panen mengemas dan mengirimkannya ke pelabuhan Tenaga kerja berupa orang kulit hitam diimpor dari Jenggi Zanzibar Pujut Australia dan Bondan Papua 73 Menurut Naerssen mereka tiba di Jawa dengan jalan perdagangan dibeli oleh pedagang atau ditawan saat perang dan kemudian dijadikan budak Penelitian pada tahun 2016 menunjukkan bahwa orang Malagasi memiliki hubungan genetik dengan berbagai kelompok etnis Nusantara terutama dari Kalimantan bagian selatan Bagian bagian dari bahasa Malagasi bersumber dari bahasa Ma anyan dengan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta dengan semua modifikasi linguistik lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu Orang Ma anyan dan Dayak bukanlah seorang pelaut dan merupakan penggarap sawah kering sedangkan sebagian orang Malagasi adalah petani sawah basah sehingga kemungkinan besar mereka dibawa oleh orang Jawa dan Melayu dalam armada dagangnya sebagai buruh atau budak 114 115 Kegiatan perdagangan dan perbudakan Jawa di Afrika menyebabkan pengaruh yang kuat pada pembuatan perahu di Madagaskar dan pantai Afrika Timur Hal ini ditunjukkan dengan adanya cadik dan oculi hiasan mata pada perahu perahu Afrika 253 288 94 156 Budaya Jawa sepertinya juga mempengaruhi strata sosial di Madagaskar gelar Malagasi andriana mungkin berasal dari gelar kebangsawanan Jawa kuno Rahadyan Ra hady an hady yang berarti pejabat tinggi atau tuan KeruntuhanKapal Borobudur yang digambarkan di candi Borobudur Dharmawangsa Teguh melancarkan serangan angkatan laut terhadap Sriwijaya yang berbasis di Sumatera dalam upaya menguasai jalur perdagangan maritim yang kala itu di kuasai Sriwijaya sekaligus untuk melumpuhkan kemampuan maritim Sriwijaya Berita invasi Jawa ke Sriwijaya ditulis dalam sumber sumber Tiongkok dari periode Dinasti Song Pada tahun 988 seorang utusan dari San fo tsi Sriwijaya dikirim ke istana Tiongkok di Guangzhou Setelah tinggal sekitar dua tahun di Tiongkok tersiar kabar bahwa negaranya telah diserang oleh She po Jawa sehingga membuatnya tidak dapat kembali Pada 992 utusan dari She po Jawa tiba di istana Tiongkok dan menjelaskan bahwa negara mereka telah terlibat dalam perang berkelanjutan dengan Sriwijaya Pada tahun 999 utusan Sriwijaya berlayar dari Tiongkok ke Champa dalam upaya untuk kembali namun ia tidak menerima kabar tentang kondisi negaranya Utusan Sriwijaya itu lalu berlayar kembali ke Tiongkok dan memohon kepada Kaisar Tiongkok untuk melindungi Sriwijaya dari ancaman Jawa Invasi Dharmawangsa mengakibatkan raja Sriwijaya Sri Cudamani Warmadewa untuk mencari perlindungan dari Tiongkok Di tengah krisis yang disebabkan oleh invasi Jawa ia mendapatkan dukungan politik Tiongkok dengan memenuhi tuntutan Kaisar Tiongkok Pada 1003 sebuah catatan sejarah Dinasti Song melaporkan bahwa utusan San fo tsi yang dikirim oleh raja Shi li zhu luo wu ni fo ma tiao hua Sri Cudamani Warmadewa Memberi tahu kepada Kaisar Tiongkok bahwa sebuah kuil Buddha telah didirikan di negara mereka untuk berdoa meminta umur panjang Yang Mulia Kaisar Tiongkok dengan demikian meminta kepada Kaisar untuk memberikan nama dan sebuah lonceng untuk kuil yang dibangun untuk menghormatinya Dengan gembira Kaisar Tiongkok menamai kuil tersebut Ch eng t en wan shou sepuluh ribu tahun menerima berkah dari surga yaitu Tiongkok dan sebuah lonceng segera diberikan dan dikirim ke Sriwijaya untuk dipasang di kuil Candi Bungsu Kompleks Candi Muara Takus Kampar Riau Setelah 16 tahun masa perang Sriwijaya berhasil mengusir penjajah Medang dan membebaskan Palembang Serangan Medang membuka mata Maharaja Sriwijaya tentang betapa berbahayanya musuhnya tersebut Sebagai balasan ia berencana untuk membalas dan menghancurkan musuh besarnya itu pada tahun 1016 atas dukungan Sriwijaya Haji Wurawari memberontak pada kekuasaan Medang Haji Wurawari adalah pemimpin wilayah bawahan pemerintahan Medang pasukan Wurawari melancarkan invasi dari arah utara Lwaram untuk menghancurkan istana Medang yang saat itu tengah melangsungkan pesta pernikahan serangan mendadak dan tak terduga ini terjadi selama upacara pernikahan putri Dharmawangsa dengan Airlangga yang membuat pihak istana tidak siap dan terkejut yang berakibat pada peristiwa kematian besar raja beserta para kerabat raja di dalam istana Bencana ini dicatat sebagai Mahapralaya dalam Prasasti Pucangan kematian dari raja Dharmawangsa serta hancurnya ibukota Wwatan di bawah tekanan militer Sriwijaya mengakhiri kerajaan Medang dan membuatnya jatuh dalam kekacauan karena tidak adanya seorang penguasa tertinggi para panglima perang di setiap provinsi daerah dan pemukiman di Jawa Tengah dan Jawa Timur memberontak dan melepaskan diri dari pemerintahan pusat Medang untuk membentuk daerah otonom atau pemerintahannya sendiri selanjutnya perampokan merajalela kerusuhan kekerasan dan kejahatan lebih lanjut terjadi beberapa tahun setelah kejatuhan Medang hingga merusak situasi negara Airlangga adalah putra raja Udayana Warmadewa dari Kerajaan Bedahulu Bali dengan ratu Mahendradatta Airlangga juga merupakan keponakan raja Dharmawangsa yang terbunuh di dalam istana serta sisa keluarga wangsa Isyana yang berhasil lolos bersama dengan putri Dharmawangsa dan melarikan diri ke pengasingan di hutan pegunungan Vana giri Wonogiri di pedalaman Jawa Tengah kemudian menuju Sendang Made Kudu Jombang dalam pelarian dan pertapaannya Airlangga didatangi utusan rakyat serta mendapatkan dukungan dari kaum pendeta dan senopati yang masih setia untuk kembali membangun kejayaan Medang pada 1019 Dia tampil dan mendirikan sebuah kerajaan baru dan dianggap sebagai kelanjutan dari Kerajaan Medang dengan ibukotanya di Watan Mas yang terletak di sekitar dekat Gunung Penanggungan Pemerintahan MedangDalam konsep tata negara Jawa Kuno unsur kerajaan terdiri dari tujuh hal yang disebut Saptaṅga Sapta Angga Yaitu raja wilayah kerajaan birokrasi sipil dan kehakiman rakyat perbendaharaan kerajaan angkatan perang dan negara negara tetangga amp sahabat yang mengakui keberadaan suatu kerajaan Melalui berita dan tafsir berbagai prasasti tata pemerintahan Kerajaan Medang dapat terbayang sepenuhnya Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan Gelar ini setara dengan Datu yang berarti pemimpin Dalam bahasa Jawa istilah Ratu digunakan sebagai sinonim Datu sehingga di Jawa istilah Karaton Karatuan digunakan sebagai sinonim Kadaton Kadatuan Ketika Rakai Panangkaran berkuasa gelar Ratu digantikan dengan gelar Sri Maharaja Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja raja pada Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya saja yang bergelar Sang Ratu Aparat Birokrasi Pada periode awal di Jawa Tengah terdapat sebuah gelar yang banyak termaktub dalam prasasti prasasti dari abad ke 8 hingga abad ke 10 yaitu gelar Raka kadang ditulis Rakai Sesudah masa itu gelar Raka cenderung tidak lagi dipakai diganti dengan Rakryan yang merupakan gabungan dari kata raka dan aryan merujuk kepada tingkat jabatan administrasi negara yang tingkatannya sepadan dengan gelar raka Namun gelar Rakai umum digunakan oleh pejabat penguasa daerah watak sedangkan Rakryan untuk pejabat tinggi pemerintahan seperti menteri Penggunaan gelar rakryan mulai ramai dipergunakan pada periode Jawa Timur dan berlangsung hingga zaman kerajaan Kadiri Singasari dan Majapahit Raka adalah seorang pemimpin atau penguasa yang telah berhasil menguasai sejumlah wanua desa kelurahan dan watak kecamatan Wanua adalah wilayah kecil yang dipimpin oleh seorang Rama tetua desa dan gabungan dari sejumlah wanua desa kelurahan disebut watak kecamatan yang dipimpin para Raka Dewan yang terdiri atas para Rama disebut Karaman arti harfiahnya tanah para rama Pada awal abad ke 8 hingga awal abad ke 10 di Jawa Tengah dikenal empat pangkat jabatan tinggi yang bergelar Rakryan Mahamantri yaitu i Hino i Halu i Sirikan dan i Wka Walau prasasti prasasti tidak menyebutkan secara rinci tingkat kepangkatan dari keempat jabatan tersebut Namun kemungkinan besar Rakryan Mahamantri i Hino menduduki hierarki tertinggi tercermin dari gambaran prasasti bahwa pejabat tersebut langsung menerima titah dari Sri Maharaja Secara rinci berikut adalah daftar 18 pejabat tinggi di Kerajaan Medang yang disebutkan dalam prasasti tinggi rendahnya kedudukan pejabat pejabat ini terbayang dari jumlah pasak pasak yang mereka terima Rakryan Mahamantri i Hino Rakryan Mahamantri i Halu Rakryan Mahamantri i Sirikan Rakryan Mahamantri i Wka Rakai Halaran Rakai Palarhyang Panggilhyang Rakai Wlahan Rakai Dalinan Rakai Laṅka Rakai Tanjung Pangkur Tawan Tirip Pamgat Tiruan Pamgat Maṅhuri Pamgat Wadihati Pamgat Makudur Pamgat Bawaṅ Selain 18 pejabat tinggi di tingkat pusat ini berita prasasti menyebut masih ada ratusan abdi dalem raja atau Maṅilala Drawya Haji atau Maminta Drawya Haji yang dalam Prasasti Cane 1021 M disebut ada 104 jabatan Ibu kota Prasada menara candi Prambanan dilihat dari bukit Ratu Boko Kerajaan Medang diperkirakan berdiri di daerah sekitar Magelang dan Yogyakarta Berdasarkan temuan arkeologi di daerah tersebut banyak ditemukan beberapa prasasti Sebenarnya pusat kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Beberapa daerah yang diperkirakan pernah menjadi lokasi ibu kota Medang berdasarkan analisis prasasti dan catatan sejarah di antaranya Nama raja Ibu kota Provinsi Prasasti atau catatan sejarah Sanjaya Mataram Poh Pitu Yogyakarta Jawa Tengah Canggal 732 M Mantyasih 907 M Rakai Pikatan Mamratipura Jawa Tengah Siwagrha 856 M Dyah Balitung Yawapura She p o tch eng Jawa Tengah Catatan dinasti Tang Mpu Daksa P o lu chia sse Jawa Tengah Catatan dinasti Tang Mpu Sindok Tamwlang Jawa Timur 929 M Mpu Sindok Watugaluh Jawa Timur Paradah 943 M Dharmawangsa Wwatan Jawa Timur Pucangan 1041 M Catatan 1 Mataram secara geografi merujuk pada lokasi dari banyak ditemukannya penemuan arkeologi prasasti dan candi candi yang mengawali dalam sejarah Indonesia 2 Hipotesis berdasarkan Prof Dr R M Ng Poerbatjaraka Prof Dr Marwati Djoened Poesponegoro dan Prof Dr Nugroho NotosusantoWangsa yang berkuasaWangsa Syailendra Teori wangsa ganda Syailendra Sanjaya yang diajukan Bosch dan De Casparis ini ditentang oleh beberapa sejarawan Indonesia di periode selanjutnya Sebuah teori alternatif yang diusulkan oleh Poerbatjaraka menunjukkan bahwa hanya ada satu kerajaan dan satu dinasti kerajaan disebut sebagai Medang dengan ibukota di Bhumi Mataram dan dinasti yang berkuasa adalah Syailendra Teori ini didukung dengan interpretasi Boechari tentang Prasasti Sojomerto dan studi Poerbatjaraka pada naskah Carita Parahyangan Menurut Boechari tokoh yang bernama Dapunta Selendra pada Prasasti Sojomerto adalah cikal bakal raja raja keturunan Syailendra yang berkuasa di Jawa dan Sumatra Poerbatjaraka berpendapat bahwa Sanjaya dan semua keturunannya adalah anggota keluarga Syailendra yang awalnya adalah pemeluk agama Hindu Siwa Kemudian berdasarkan Prasasti Raja Sankhara putra Sanjaya Rakai Panangkaran masuk agama Buddha Mahayana Dari rangkain peristiwa sejarah tersebut keturunan Syailendra yang kemudian memerintah Medang menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana dan menjadi pelindung agama Buddha di Jawa hingga akhir masa pemerintahan Samaratungga Hindu Siwa memperoleh kembali dukungan dari kerajaan pada masa pemerintahan Rakai Pikatan yang berlangsung sampai akhir Kerajaan Medang Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung candi Hindu Trimurti Prambanan dibangun dan diperluas di sekitar Yogyakarta Dengan perkataan lain mungkin sekali pendapat Poerbatjaraka adalah benar mengenai asal usul wangsa Syailendra yaitu mereka adalah pribumi asli Nusantara dan bahwa hanya ada satu wangsa saja wangsa Syailendra yang anggotanya semula penganut agama Hindu Siwa Saiwa tetapi sejak pemerintahan Rakai Panangkaran menjadi penganut agama Buddha Mahayana untuk kemudian kembali lagi menjadi penganut agama Saiwa sejak pemerintahan Rakai Pikatan Wangsa Isyana Ketika kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang Jawa Timur sekarang Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke Jawa Timur tetapi ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana Daftar penguasa MedangKerajaan Medang diperintah oleh wangsa atau raja raja Syailendra dan Isyana yang berkuasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur Periode Jawa Tengah Kurun waktu Nama pribadi Apanase daerah lungguh Nama abhiseka Disebutkan dalam Tahun 716 746 Rakai Mataram Rahyangta ri Mḍang Sanjaya dari Mataram Sri Sanjaya Sang Ratu Sanjaya Prasasti Canggal Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III 732 907 908 746 784 Dyaḥ Pancapaṇa Dyaḥ Sankhara Sri Maharaja Rakai Panangkaran Indra Sanggramadhananjaya Sri Sanggramadhananjaya Prasasti Kalasan Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III 778 907 908 784 803 Sri Maharaja Rakai Panunggalan Rakai Panaraban Dharmmottungadeva Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III 907 908 803 827 Dyaḥ Manara Sri Maharaja Rakai Warak Samaragrawira Prasasti Nalanda Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III 860 907 908 827 828 Dyaḥ Gula Wanua Tengah III 908 828 847 Rakryan i Garung Sri Maharaja Rakai Garung Samaratungga Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III 819 907 908 847 855 Dyaḥ Salaḍu Mpu Manuku Sri Maharaja Rakai Pikatan Rakai Mamrati Rakai Gurunwangi Rakai Patapan Sang Jatiningrat Prasasti Munduan Prasasti Siwagrha Prasasti Wantil Prasasti Argapura Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III Prasasti Candi Plaosan 806 856 856 863 907 908 Pertengahan abad ke 9 855 885 Dyaḥ Lokapala Mpu Lokapala Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Sri Sajjanotsavattungga Prasasti Kuti Prasasti Siwagrha Prasasti Argapura Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III 840 856 863 907 908 885 885 Dyah Tagwas Maharaja Dyah Gwas Sri Jayakirtiwardhana Sri Javakirttiwardhana Prasasti Er Hangat Prasasti Wanua Tengah III 888 908 885 887 Dyaḥ Dewendra Sri Maharaja Rake Limus Dyah Dewendra Rakai Panumwangan Prasasti Poh Dulur Prasasti Wanua Tengah III 890 908 887 887 Dyaḥ Bhadra Sri Maharaja Rakai Gurunwangi Dyah Bhadra Prasasti Munggu Antan Prasasti Wanua Tengah III 887 908 Interegnum Kekosongan Pemerintahan 887 894 M 894 898 Dyaḥ Jebang Sri Maharaja Rakai Watuhumalang Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III 907 908 898 910 Dyah Balitung Dyaḥ Garuda Mukha Sri Maharaja Rakai Watukura Sri Maharaja Rakai Galuḥ Sri Dharmmodaya Mahasambu Sri isvarakesvarasamarottungga Prasasti Telahap Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III Prasasti Tulangan 898 907 908 910 910 919 Dyaḥ Dakṣottama Mpu Daksa Rakryan Mapatiḥ i Hino Pu Dakṣottama Bahubajrapratipakṣakṣaya Sri Maharaja Dakṣottama Bahubajra Prapakṣakṣaya Uttunggavijaya Prasasti Palepangan Prasasti Tulangan 906 910 919 924 Dyah Tulodong Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tlodong Sri Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa Prasasti Lintakan Prasasti Harinjing 919 924 927 Sri Maharaja Pu Wagiswara Prasasti Palebuhan 927 927 929 Dyah Wawa Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Rakai Pangkaja Sri Vijayalokanamottungga Prasasti Wulakan Prasasti Sangguran 927 928 982 Periode Jawa Timur Kurun waktu Nama pribadi Apanase daerah lungguh Nama anumerta Disebutkan dalam prasasti Tahun 929 947 Mpu Sindok Rakai Mahamantri Halu Rakai Mahamantri Hino Sri Maharaja isanavikrama Dharmottunggadevavijaya Prasasti Turryan Prasasti Anjuk Ladang Prasasti Paradah 929 937 943 947 985 Sri isana Tunggavijaya Sri Isyana Tunggawijaya Prasasti Pucangan 950 1041 985 990 Sri Makutavaṃsa Vardhana Makutawangsawardhana Prasasti Wwahan Prasasti Pucangan 985 1041 990 1016 apanji wijayamrtawarddhana Sri Maharaja isana Dharmavaṃsa Teguh Anantavikramottunggadeva Dharmawangsa Teguh Prasasti Kawambang Kulwan Prasasti Pucangan Prasasti Sirah Keting 992 1041 1204Warisan BudayaCandi Nama Gambar Lokasi Dibangun Diprakarsai Keterangan Candi Borobudur Magelang Jawa Tengah 7 36 29 S 110 12 14 E 7 608 S 110 204 E 7 608 110 204 770 M awal kontruksi 825 M selesai dibangun Gunadharma arsitek Samaratungga era Syailendra klien Candi Borobudur adalah candi Buddha peninggalan Syailendra terbesar di dunia Dibangun pada pertengahan abad ke 7 kemudian situs bersejarah ini ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO s World Heritage Sites Candi Sewu Klaten Jawa Tengah 7 44 37 S 110 29 37 E 7 7435 S 110 4935 E 7 7435 110 4935 782 M selesai dibangun Rakai Panangkaran Rakai Pikatan era Syailendra klien Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha peninggalan Syailendra terbesar kedua di Indonesia setelah Candi Borobudur Candi Sojiwan Klaten Jawa Tengah 7 45 39 S 110 29 45 E 7 76083 S 110 49583 E 7 76083 110 49583 842 M Rakryan Sanjiwana era Syailendra klien Candi Prambanan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Klaten Jawa Tengah 7 45 8 S 110 29 30 E 7 75222 S 110 49167 E 7 75222 110 49167 850 M awal kontruksi Rakai Pikatan Dyah Balitung era Syailendra klien Candi Prambanan adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke 8 Candi ini ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO s World Heritage Sites sekaligus salah satu candi Hindu terindah di Asia Tenggara Candi Sari Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta 7 45 41 49 S 110 28 27 E 7 7615250 S 110 47417 E 7 7615250 110 47417 Abad ke 8 Rakai Panangkaran era Syailendra klien Candi Kalasan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta 7 46 12 S 110 28 12 E 7 770 S 110 470 E 7 770 110 470 Abad ke 8 Rakai Panangkaran era Syailendra klien Candi Ratu Boko Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta 7 46 12 S 110 29 20 E 7 77000 S 110 48889 E 7 77000 110 48889 Abad ke 8 Rakai Panangkaran era Syailendra klien Candi Gebang Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta 7 45 05 S 110 24 58 E 7 751454 S 110 416117 E 7 751454 110 416117 Abad ke 8 Syailendra klien Candi Pawon Magelang Jawa Tengah 7 36 22 S 110 13 10 E 7 60616 S 110 219522 E 7 60616 110 219522 Abad ke 9 Syailendra klien Candi Sambisari Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta 7 45 45 S 110 26 49 E 7 7625 S 110 4469 E 7 7625 110 4469 Abad ke 9 Rakai Garung era Syailendra klien Candi Plaosan Klaten Jawa Tengah 7 44 25 S 110 30 16 E 7 74028 S 110 50444 E 7 74028 110 50444 Abad ke 9 Rakai Pikatan era Syailendra klien Candi Banyunibo Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta 7 46 40 S 110 29 38 E 7 77778 S 110 49389 E 7 77778 110 49389 Abad ke 9 Syailendra klien Candi Barong Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta 7 46 32 S 110 29 50 E 7 7754785 S 110 4972972 E 7 7754785 110 4972972 Abad ke 9 era Syailendra klien Candi Gedong Songo Semarang Jawa Tengah 7 12 37 S 110 20 31 E 7 21028 S 110 34194 E 7 21028 110 34194 Abad ke 9 Syailendra klien Candi Merak Klaten Jawa Tengah 7 40 11 S 110 33 05 E 7 669735 S 110 551275 E 7 669735 110 551275 Abad ke 9 Syailendra klien Candi Bubrah Klaten Jawa Tengah 7 44 48 S 110 29 34 E 7 7466 S 110 4929 E 7 7466 110 4929 Abad ke 9 Syailendra klien Candi Ijo Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta 7 47 2 S 110 30 44 E 7 78389 S 110 51222 E 7 78389 110 51222 Abad ke 10 Syailendra klien Karya Sastra Sang Hyang Kamahayanikan ditulis oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama Prasasti Prasasti Canggal Prasasti Kalasan Prasasti Mantyasih Prasasti Wanua Tengah III Prasasti Wantil Prasasti Wukiran Prasasti Kwak I Prasasti Raja Sankhara Prasasti Ramwi Prasasti Salingsingan Prasasti Er Hangat Prasasti Harinjing Prasasti Paradah Prasasti Penampihan Situs Nama Gambar Lokasi Dibangun Diprakarsai Keterangan Petirtaan Jalatunda Trawas Kabupaten Mojokerto Jawa Timur 7 36 33 S 112 35 43 E 7 60917 S 112 59528 E 7 60917 112 59528 Abad ke 10 Isyana klien Petirtaan Belahan Gempol Kabupaten Pasuruan Jawa Timur Abad ke 10 Isyana klien Petirtaan Sumberbeji Ngoro Kabupaten Jombang Jawa Timur Abad ke 10 Isyana klien Petirtaan Dewi Sri Nguntoronadi Kabupaten Magetan Jawa Timur Abad ke 10 Isyana klien PelestarianBudaya Upacara Waisak nasional di Borobudur candi monumental peninggalan Syailendra yang berasal dari Medang sangat penting untuk dijumpai pada hari raya umat Buddha di Indonesia Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti prasasti tersebar di Jawa Medang juga membangun banyak candi baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha Era ini dipandang sebagai zaman keemasan dari peradaban Jawa kuno yang telah meninggalkan warisan abadi dalam budaya dan sejarah Indonesia Candi Borobudur dan Prambanan yang monumental dan megah ini telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO s World Heritage Sites dan menjadi sumber kebanggaan nasional tidak hanya bagi orang Jawa tetapi juga bagi bangsa Indonesia Sendratari Mahakarya Borobudur digelar di Borobudur Tidak diduga bahwa dalam Sejarah Indonesia ditemukan sebuah peradaban unggul yang begitu kuat dalam membangun kontruksi bangunan dan pembangunan candi yang menunjukkan penguasaan teknologi tenaga kerja manajemen sumber daya penyempurnaan estetika dan seni juga pencapaian arsitektur pada era kerajaan Medang Periode antara akhir abad ke 8 hingga akhir abad ke 9 antara masa pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung telah meninggalkan sejumlah candi yang mengesankan antara lain adalah candi Borobudur candi Sewu dan candi Prambanan Pertunjukan Wayang Wong di panggung terbuka Sendratari Ramayana Prambanan Era Medang telah meninggalkan dampak besar untuk budaya Jawa Era kerajaan Medang disanjung sebagai periode klasik peradaban Jawa karena selama periode ini budaya seni dan arsitektur Jawa bersemi dan berkembang lebih jauh mengkonsolidasikan dan memperpadukan unsur kepercayaan asli orang Jawa dengan pengaruh pengaruh dharma Dengan memasukkan kerangka acuan dan elemen Hindu Buddha ke dalam budaya seni dan arsitektur Jawa serta Sanskertanisasi bahasa Jawa orang Jawa telah merumuskan gaya Hindu Buddha Jawa dan berhasil mengembangkan suatu peradaban yang luhur dan cemerlang Gaya senirupa Syailendra Jawa ini baik dalam seni pahat dan arsitektur kemudia pada gilirannya turut memengaruhi corak kesenian di daerah lainnya khususnya seni Sriwijaya di Sumatra Semenanjung Melayu dan Thailand selatan Seni dan arsitektur pembangunan beberapa candi pada awal periode Angkor juga dipercaya dipengaruhi oleh seni dan arsitektur Syailendra di Jawa kesamaan yang mencolok nampak dari candi Bakong di Kamboja dengan candi Borobudur di Magelang menunjukkan bahwa candi Bakong terinspirasi oleh desain Borobudur Selama periode Medang sejumlah kitab dharma baik dari Hindu atau Buddha telah mempengaruhi budaya Jawa Misalnya kisah kisah Jataka dan Lalitawistara juga epos Ramayana dan Mahabharata diadopsi ke dalam versi Jawa Kisah kisah dan epos ini selanjutnya akan membentuk budaya Jawa dan seni pertunjukan seperti tarian Jawa dan seni wayang Pagoda bergaya Jawa atau Sailendra di Chaiya Thailand Di selatan Thailand ada jejak seni dan arsitektur Jawa sering secara keliru disebut sebagai peninggalan Sriwijaya yang mungkin menunjukkan pengaruh Sailendra di Jawa Sumatra dan Semenanjung Malaya Contohnya adalah Phra Borom Mahathat di Chaiya yang dibangun dengan gaya Jawa yang terbuat dari batu bata dan mortar sekitar abad ke 9 10 Pagoda Wat Kaew di Chaiya juga berbentuk Jawa dan Pagoda Wat Long Wat Mahathat asli di Nakhon Si Thammarat kemudian dibungkus oleh bangunan bergaya Sri Lanka yang lebih besar Museum Museum Karmawibhangga Museum ini menampilkan gambar relief Karmawibhangga yang terukir pada kaki tersembunyi Borobudur beberapa blok batu Borobudur yang terlepas serta temuan artefak arkeologi yang ditemukan di sekitar Borobudur dan yang berasal dari berbagai situs situs purbakala di Jawa Tengah Museum Samudra Raksa Koleksi utama pameran museum ini adalah rekonstruksi Kapal Borobudur dalam ukuran sesungguhnya yang telah menempuh perjalanan napak tilas mengarungi Samudra Hindia dari Jakarta menuju Accra Ghana pada tahun 2003 2004 Balai Konservasi Borobudur adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis UPT Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertujuan untuk melestarikan cagar budaya di seluruh Indonesia merupakan sebuah museum yang berada di dalam Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan Museum ini berisi koleksi benda benda bersejarah dan berharga berupa arca artefak gerabah gambar struktur Candi Siwa fosil hewan hingga legenda Roro Jonggrang Lihat pulaDaftar penguasa Jawa Wangsa Syailendra Wangsa Isyana Kerajaan Panjalu Kesultanan Mataram Medang KamulanKutipanRahardjo Supratikno 2002 Peradaban Jawa Dinamika Pranata Politik Agama dan Ekonomi Jawa Kuno dalam bahasa Indonesia Komuntas Bambu Jakarta hlm 35 ISBN 979 96201 1 2 Pemeliharaan CS1 Bahasa yang tidak diketahui link Kisah Mataram di Poros Kedu Prambanan Kompas com 2012 02 18 Boechari 2012 Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia ISBN 978 979 91 0520 2 Mataram Sanskrit dictionary Muljana Slamet 2005 Menuju Puncak Kemegahan Yogyakarta LKiS ISBN 978 979 8451 35 5 Medang KBBI Redaksi Medang 12 September 2018 Prasasti Canggal Prasasti Tertua Di Jawa Yang Berangka Tahun medang id dalam bahasa Indonesia Diakses tanggal 4 Januari 2020 Pemeliharaan CS1 Bahasa yang tidak diketahui link Drs R Soekmono Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 2nd ed Edisi 1973 5th reprint edition in 1988 Yogyakarta Penerbit Kanisius hlm 40 Cœdes George 1968 The Indianized states of Southeast Asia University of Hawaii Press ISBN 9780824803681 Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto 2008 Sejarah Nasional Indonesia Zaman kuno dalam bahasa Indonesian Balai Pustaka hlm 131 ISBN 9789794074084 Diakses tanggal 4 April 2020 Pemeliharaan CS1 Bahasa yang tidak diketahui link Maspero G 2002 The Champa Kingdom Bangkok White Lotus Co Ltd hlm 48 166 50 ISBN 9747534991 Zakharov Anton A August 2012 The Sailendras Reconsidered PDF nsc iseas edu sg Singapore The Nalanda Srivijaya Centre Institute of Southeast Asian Studies Diarsipkan dari asli PDF tanggal November 1 2013 Diakses tanggal 2013 10 30 Nugroho Irawan Djoko 2011 Majapahit Peradaban Maritim Suluh Nuswantara Bakti ISBN 978 602 9346 00 8 Rooney Dawn 16 April 2011 Angkor Cambodia s Wondrous Khmer Temples Hong Kong Odyssey Publications ISBN 978 9622178021 Diakses tanggal 2019 01 21 Munoz Paul Michel 2006 Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and Malay Peninsula Singapore Editions Didier Millet Pemeliharaan CS1 Status URL link Miksic John N Goh Geok Yian 2017 Ancient Southeast Asia London Routledge Pemeliharaan CS1 Status URL link Prasasti Keping Tembaga Laguna Prasasti Ligor Coedes George 1968 Walter F Vella ed The Indianized States of Southeast Asia trans Susan Brown Cowing University of Hawaii Press ISBN 978 0 8248 0368 1 Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto 2008 Sejarah Nasional Indonesia Zaman Kuno dalam bahasa Indonesian Balai Pustaka ISBN 979407408X Diakses tanggal 4 April 2020 Pemeliharaan CS1 Bahasa yang tidak diketahui link Handewi Soegiharto 13 June 2006 Merapi and the demise of the Mataram kingdom The Jakarta Post Diarsipkan dari asli tanggal 2016 03 05 Diakses tanggal 4 April 2020 Brandes J L A 1913 Oud Javaansche Oorkonden Nagelaten Transscripties Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en wetenschappen 60 12 de Longh R C 1977 Handbook of Oriental Studies Part 3 Brill hlm 55 SEAMEO Project in Archaeology and Fine Arts 1984 Final report Consultative Workshop on Research on Maritime Shipping and Trade Networks in Southeast Asia I W7 Cisarua West Java Indonesia November 20 27 1984 SPAFA Coordinating Unit hlm 66 David L Snellgrove 2001 Khmer Civilization and Angkor Orchid Press ISBN 978 974 8304 95 3 David L Snellgrove 2004 Angkor Before and After A Cultural History of the Khmers Orchid Press hlm 24 ISBN 978 974 524 041 4 Chanchirayuwat Ratchani M C 1987 Towards a History of Laem Thong and Sri Vijaya Institute of Asian Studies Chulalongkorn University hlm 170 ISBN 978 974 567 501 8 The Journal of the Siam Society 1974 hlm 300 George Cœdes 1968 The Indianized States of South East Asia University of Hawaii Press hlm 91 ISBN 978 0 8248 0368 1 Tōyō Bunko Japan 1972 Memoirs of the Research Department hlm 6 Tōyō Bunko Japan 1972 Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko the Oriental Library Toyo Bunko hlm 6 Proceedings of the Symposium on 100 Years Development of Krakatau and Its Surroundings Jakarta 23 27 August 1983 Indonesian Institute of Sciences 1985 hlm 8 Greater India Society 1934 Journal hlm 69 Ralph Bernard Smith 1979 Early South East Asia essays in archaeology history and historical geography Oxford University Press hlm 447 Charles Alfred Fisher 1964 South east Asia a social economic and political geography Methuen hlm 108 Ronald Duane Renard Mahawitthayalai Phayap 1986 Anuson Walter Vella Walter F Vella Fund Payap University University of Hawaii at Manoa Center for Asian and Pacific Studies hlm 121 Bulletin de l Ecole francaise d Extreme Orient L Ecole 1941 hlm 263 Daniel George Edward Hall Phut Tấn Nguyễn 1968 Đong Nam A sử lược Pacific Northwest Trading Company hlm 136 Paul Michel Munoz 2006 Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula National Book Network hlm 136 ISBN 978 981 4155 67 0 Daigorō Chihara 1996 Hindu Buddhist Architecture in Southeast Asia BRILL hlm 88 ISBN 90 04 10512 3 David G Marr Anthony Crothers Milner 1986 Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries Institute of Southeast Asian Studies hlm 297 ISBN 978 9971 988 39 5 The South East Asian Review Institute of South East Asian Studies 1995 hlm 26 Our Heritage Sanskrit College 1980 hlm 17 Warisan Kelantan Perbadanan Muzium Negeri Kelantan 1985 hlm 13 Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society The Branch 1936 hlm 24 George Cœdes 1968 The Indianized States of South East Asia University of Hawaii Press hlm 95 ISBN 978 0 8248 0368 1 Jan M Pluvier 1995 Historical Atlas of South East Asia E J Brill hlm 12 ISBN 978 90 04 10238 5 Anthony Reid 1 August 2000 Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia Silkworm Books ISBN 978 1 63041 481 8 D G E Hall 1966 A History of South East Asia hlm 96 Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society The Branch 1936 hlm 8 Bijan Raj Chatterjee 1964 Indian Cultural Influence in Cambodia University of Calcutta hlm 61 Bernard Philippe Groslier 1962 The art of Indochina including Thailand Vietnam Laos and Cambodia Crown Publishers hlm 89 Kenneth R Hall 28 December 2010 A History of Early Southeast Asia Maritime Trade and Societal Development 100 1500 Rowman amp Littlefield Publishers hlm 75 ISBN 978 0 7425 6762 7 Kenneth R Hall 28 December 2010 A History of Early Southeast Asia Maritime Trade and Societal Development 100 1500 Rowman amp Littlefield Publishers hlm 75 ISBN 978 0 7425 6762 7 Văn Giau Trần Bạch Đằng Trần 1998 Địa chi văn hoa Thanh phố Hồ Chi Minh Nha xuất bản Thanh phố Hồ Chi Minh hlm 131 The Anh Nguyen 2008 Parcours d un historien du Viet Nam recueil des articles Indes savantes hlm 115 ISBN 978 2 84654 142 8 Andrew David Hardy Mauro Cucarzi Patrizia Zolese 2009 Champa and the Archaeology of Mỹ Sơn Vietnam NUS Press hlm 149 ISBN 978 9971 69 451 7 Huber Edouard 1911 L epigraphie de la dynastie de Dong duong BEFEO 11 268 311 p 299 Fujita Kayoko Shiro Momoki Anthony Reid ed 2013 Offshore Asia Maritime Interactions in Eastern Asia Before Steamships volume 18 from Nalanda Sriwijaya series Institute of Southeast Asian Studies hlm 97 ISBN 978 9814311779 Kumar Ann 2012 Dominion Over Palm and Pine Early Indonesia s Maritime Reach dalam Geoff Wade ed Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past Singapore Institute of Southeast Asian Studies 101 122 Nugroho Irawan Djoko 2011 Majapahit Peradaban Maritim Suluh Nuswantara Bakti ISBN 978 602 9346 00 8 Wade Geoff 2012 Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past Singapore Institute of Southeast Asian Studies ISBN 978 9814311960 Maziyah Siti 2022 Analysing the Presence of Enslaved Black People in Ancient Java Society Journal of Maritime Studies and National Integration 6 1 62 69 doi 10 14710 jmsni v6i1 14010 ISSN 2579 9215 Jakl Jiri 2017 Black Africans on the maritime silk route Indonesia and the Malay World 45 133 334 351 doi 10 1080 13639811 2017 1344050 ISSN 1363 9811 Shu Yuan ed 2017 中国与南海周边关系史 History of China s Relations with the South China Sea Beijing Book Co Inc ISBN 9787226051870 一 药材 胡椒 空青 荜拨 番木鳖子 芦荟 闷虫药 没药 荜澄茄 血竭 苏木 大枫子 乌爹泥 金刚子 番红土 肉豆蔻 白豆蔻 藤竭 碗石 黄蜡 阿魏 二 香料 降香 奇南香 檀香 麻滕香 速香 龙脑香 木香 乳香 蔷薇露 黄熟香 安息香 乌香 丁皮 香 三 珍宝 黄金 宝石 犀角 珍珠 珊瑙 象牙 龟筒 孔雀尾 翠毛 珊瑚 四 动物 马 西马 红鹦鹉 白鹦鹉 绿鹦鹉 火鸡 白 鹿 白鹤 象 白猴 犀 神鹿 摸 鹤顶 鸟 五色鹦鹉 奥里羔兽 五 金 属制品 西洋铁 铁枪 锡 折铁刀 铜鼓 六 布匹 布 油红布 绞布 4 此 外 爪哇还向明朝输入黑奴 叭喇唬船 爪哇铣 硫黄 瓷釉颜料等 爪哇朝贡贸易 输人物资不仅种类多 而且数虽可观 如洪武十五年 1382年 一次进贡的胡椒就达 七万五千斤 5 而民间贸易显更大 据葡商Francisco de Sa记载 万丹 雅加达等港 口每年自漳州有帆船20艘驶来装载3万奎塔尔 quiutai 的胡椒 1奎塔尔约合59 公斤则当年从爪哇输入中国胡椒达177万公斤 Nastiti 2003 dalam Ani Triastanti 2007 hlm 39 Nastiti 2003 dalam Ani Triastanti 2007 hlm 34 Kartikaningsih 1992 hlm 42 dalam Ani Triastanti 2007 hlm 34 Kusuma Pradiptajati Brucato Nicolas Cox Murray P Pierron Denis Razafindrazaka Harilanto Adelaar Alexander Sudoyo Herawati Letellier Thierry Ricaut Francois Xavier 2016 05 18 Contrasting Linguistic and Genetic Origins of the Asian Source Populations of Malagasy Scientific Reports 6 1 doi 10 1038 srep26066 ISSN 2045 2322 Murray P Cox Michael G Nelson Meryanne K Tumonggor Francois X Ricaut Herawati Sudoyo 2012 A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar Proceedings of the Royal Society B 279 1739 2761 8 doi 10 1098 rspb 2012 0012 ISSN 0962 8452 PMC 3367776 PMID 22438500 Hornell James 1946 Water Transport Origins amp Early Evolution Newton Abbot David amp Charles OCLC 250356881 Dick Read Robert 2005 The Phantom Voyagers Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times Thurlton Dick Read Robert 2008 Penjelajah Bahari Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika PT Mizan Publika ISBN 9789794335062 Pemeliharaan CS1 Status URL link Adelaar K A 2006 The Indonesian migrations to Madagascar Making sense of the multidisciplinary evidence PDF in Adelaar Austronesian diaspora and the ethnogenesis of people in Indonesian Archipelago LIPI PRESS Diarsipkan dari asli PDF tanggal 2009 11 22 Diakses tanggal 2008 05 19 Poerbatjaraka 1958 254 264 Sedyawati Edi dkk 2012 Dinasti Agma Dan Monumen dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah Kerajaan Hindu Buddha Jakarta PT Ichtiar Baru Van Hoeve Pemeliharaan CS1 Banyak nama authors list link Raja raja Mataram Kuna dari Sanjaya Sampai Balitung Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III Berkala Arkeologi Vol 14 No 2 1994 Special Issue 1994 doi 10 30883 jba v14i2 721 Muljana Slamet 2006 Sriwijaya dalam bahasa Indonesian Yogyakarta LKiS hlm 243 244 ISBN 979 8451 62 7 Pemeliharaan CS1 Bahasa yang tidak diketahui link Pemeliharaan CS1 Lokasi penerbit Analisis Pertanggalan Prasasti Wanua Tengah III Berkala Arkeologi Vol 14 No 2 1994 Special Issue 1994 doi 10 30883 jba v14i2 636 Mark Elliott November 2003 Indonesia Melbourne Lonely Planet Publications Pty Ltd hlm 211 215 ISBN 1 74059 154 2 David G Marr Anthony Crothers Milner 1986 Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries Institute of Southeast Asian Studies Singapore hlm 244 ISBN 9971 988 39 9 Diakses tanggal 4 April 2020 Thailand s World The Srivijaya Kingdom in Thailand Diarsipkan dari asli tanggal 20 November 2015 Diakses tanggal 25 August 2015 Thailand s World Srivijaya Art Thailand Diarsipkan dari asli tanggal 7 July 2006 Diakses tanggal 25 August 2015 ReferensiBoechari 2012 Melacak Sejarah Kuno Indonesia Melalui Prasasti Jakarta KPG Marwati Poesponegoro amp Nugroho Notosusanto 1990 Sejarah Nasional Indonesia Jilid II Jakarta Balai Pustaka Purwadi 2007 Sejarah Raja Raja Jawa Yogyakarta Media Ilmu Slamet Muljana 2005 Menuju Puncak Kemegahan terbitan ulang 1965 Yogyakarta LKIS Slamet Muljana 1979 Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya Jakarta Bhratara Slamet Muljana 2006 Sriwijaya terbitan ulang 1960 Yogyakarta LKIS Triastanti Ani Perdagangan Internasional pada Masa Jawa Kuno Tinjauan Terhadap Data Tertulis Abad X XII Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2007 Didahului oleh Kalingga Kerajaan Kanjuruhan Kerajaan Hindu Budha 732 1016 Diteruskan oleh Panjalu